Latest Movie :
Recent Movies

Memahami Dan Menganalisis Konstitusi Kita (UUD 45)



Latar belakang
Undang undang Dasar Negara republic Indonesia 1945 merupakan dasar Negara republic Indonesia, dimana Undang undang ini merupakan supremasi hukum tertinggi. Sehingga Kestabilan Negara dan kesejahteraan rakyat Indonesia sangat bergantung pada peraturan undang undang yang menata dan mengatur mekanisme system kenegaraan Indonesia sendiri. Undang undang sebagai dasar dari peraturan peraturan Negara dalam rangka menciptakan kestabilan Negara dan kemakmuran bangsa. Sehingga, dengan demikian sudah menjadi tanggung jawab pemerintah untuk merumuskan dan membuat Undang undang yang mampu menjaga Stabilitas Negara serta meuwujudkan cita cita bangsa yang makmur dan sejahtera. Karena apabila undang undang yang dirumuskan oleh Negara ternyata sangat tidak relevan dengan kondisi dan Kontekstualitas bangsa Indonesia, maka hal ini dapat mengancam kestabilan Negara dan masyarakat Indonesia, terutama apabila dari sisi Pemerintahan dan ketatangeraan , maka hal ini akan berdampak langsung terhadap rakyat Indonesia, dimana Pemerintah dan Negara merupakan pihak yang bertanggung jawab memenuhi hak hak aspirasi rakyat dan menjamin kemakmuran. Sehingga, system Pemerintahan dan kenegaraan yang stabil merupakan kemutlakan demi terwujudnya cita cita Negara yang diatur oleh undang undang.
Dan di Indonesia sendiri, kita dapat melihat bagaimana perjalanan dan dinamika system ketatanegaraannya. Undang undang yang mengatur system Kenegaraan Indonesia sudah beberapa kali mengalami perubahan (Amandemen), yang tepatnya sebanyak empat kali Amandemen. Lengsernya presiden Soeharto, dimana juga berarti berakhirnya masa orde baru, telah banyak membuat perubahan yang sangat fundamental dalam system kenegaraan Indonesia yang disusun dalam Undang undang dasar 45. Pada saat masa orde baru berakhir , dan keran reformasi dibuka sebesar besarnya, Indonesia dapat dikatakan sedang mengalami proses demokratisasi seteleh sekian lamanya dikekang dengan Pemerintahan yang otoriter di masa Presiden Soeharto.Ketika di Tahun 1998 di saat lengsernya Soeharto dengan tindakan serta aksi aksi mahasiswa yang dimobilisasi oleh Amien rais, maka sejak itu pulalah Stabilitas Negara Indonesia mulai mengalami kegoncangan. Setelah pertengahan tahun 1998 hingga akhir tahun Indonesia mengalami kekosongan kepemimpinan hingga akhirnya di tahun 1999 diadakan Pemilihan umum dengan tanpa dominasi Soeharto, dengan banyaknya muncul Partai partai politik baru dengan beragam warna ideology. Dan setelah Pemilu di tahun 1999, dimana akhirnya Gusdur terpilih sebagai Presiden , namun hal masa pemerintahan Gusdur pun tidak bertahan lama ketika digantikan oleh Presiden Megawati. Dan dimasa masa tersebut itulah keadaan Negara Indonesia dapat dikatakan Unstabilitas, dimana Negara sedang belajar didalam Proses demokratisasi yang sebenarnya.
Dan dalam hal perundang undangan, UUD 45 mengalami Amandemen kurang lebihnya sebanyak empat kali Amandemen dalam waktu yang relative singkat. Hal tersebut tentunya sangat tidak dapat dilepaskan dari peranan Amien rais selaku ketua MPR di waktu yang terpilih melalui Pemilu di tahun 1999. Seperti kita tahu bahwa Amien rais merupakan Orang yang paling memiliki peran penting didalam proses reformasi Indonesia, sehingga sangat wajar apabila Amien rais dengan jabatannya sebagai ketua MPR waktu itu, mecoba untuk merombak dengan cukup fundamental dasar Negara yaitu Undang undang 45 yang merupakan aturan aturan atau Prosedural ketatanegaraan demi mencapai demokrasi yang sebenarnya agar terwujudnya Negara yang lebih stabil, demokrasi, dan kesejahteraan rakyat Indonesia.Sehingga, dengan kata lain dapat kita mengatakan bahwa Amandemen undang undang 45 mulai dari amandemen pertama hingga keempat adalah perubahan undang undang yang dilakukan oleh Amien Rais dalam upaya proses perubahan undang undang yang lebih baik dan demokrasi.
Namun, yang perlu dipahami disini adalah bahwa perubahan undang undang yang dilakukan disini tentunya bukan berarti senantias mutlak lebih baik dan mampu membentuk dan menjga kestabilan Negara yang lebih baik. Dengan Diamendemennya undang undang berkali kali sebenarnya menunjukkan bahwa Negara Indonesia sedang dalam proses menuju system Negara yang Stabil, dan pada realitasnya memang tidak begitu menunjukkan hasil yang cukup signifikan meskipun kita dapat mengatakannya lebih baik dari undang undang di masa orde baru yang lebih memihak di pihak Penguasa Negara.
Tujuan
Sehingga dengan kondisi serta permasalahan yang berkenaan dengan system ketatanegaraan diatas, maka disini Penulis mencoba untuk membaca dan mencoba untuk melakukan suatu analisis terhadap perubahan perubahan undang undang yang sempat terjadi beberapa kali di Indonesia, karena seperti kita tahu bahwa undang undang 45 yang menjadi supremasi hukum dalam mengatur dan penyelenggaraan Negara Indonesia memiliki peranan penting dalam teruwujdnya stabilitas kenegaraan yang menjadi kemutlakan dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang makmur dan sejahtera.
Sehingga, secara umum disini saya kemukakan beberapa tujuan pembuatan makalah, diantaranya :
  • Menganalisa perkembangan UU 45 setelah diamandemen;
  • Dengan demikian, akan mengetahui kelebihan maupun kekurangannya
  • Serta dampak dampak dari implementasi pelaksanaan Undang undang
  • Dapat menjadi wacana hikmah dan pelajaran bagi perkembangan ketatangaraan Indonesia ke depan
Rumusan masalah
Dengan latar belakang permasalahan serta tujuan yang hendak dicapai seperti dikemukakan diatas, maka rumusan masalah yang dirumuskan adalah sebagai berikut :
  • Bagaimana Perkembangan system ketatangeraan dan Pemerintahan Indonesia Setelah amandemen UUD 45  ?
Analisa
Pengantar
Sebelum masuk pada analisa, disini perlu diketahui bahwa perubahan undang undang yang dilakukan mulai dari amandemen pertama, kedua, ketiga, hingga keempat cukup banyak pasal pasal yang diperbaharu.Sehingga sehubungan dengan hal tersebut, maka disini Penulis akan mencoba menganalisa pasal pasal yang diamandemen secara garis besarnya saja, atau hal hal umum dimana hal tersebut sangat berkaitan erat dengan kondisi ketetangaraan Indonesia dan berkaitan dengan masalah yang sangat fundamental dan berskala Nasional. Sehingga, disini Penulis tidak akan melakukan Pembacaan dan analisa secara menyeluruh berkenaan dengan pasal pasal yang diamandemen hingga amandemen keempat pada pasal pasal yang ada pada UUD 45, akan tetapi yang berhubungan langsung dengan system Ketatanegaraan Indonesia.
Karena seperti yang kita tahu, bahwa ketetangeraan merupakan hal yang paling mendasar didalam penyelenggaraan Negara yang stabil, serta mampu membawa kemakmuran bagi rakyat Indonesia, menjadi Negara yang mandiri dan Negara yang kuat di mata dunia.
Prinsip prinsip dasar Dalam perubahan UUD 45
Sehubungan dengan Amandemen UUD 45 hingga yang keempat di tahun 2002, seperti kita tahu bahwa Undang undang Dasar tahun 1945 telah mengalami perubahan yang sangat mendasar, dimana hal tersebut pada akhirnya mempengaruhi struktur dan mekanisme organ organ didalam Negara yang memiliki peranan yang sangat penting dalam pembentukan stabilitas Negara. Dan didalam melakukan perubahan/ Amandemen disini tentunya tidak terlepas dari beberapa pokok pikiran dimana hal tersebut menjadi sebuah alasan yang mendasar dalam melakukan perubahan/ amandemen UUD 45,
Beberapa Pokok Pikiran tersebut adalah :
  • CITA DEMOKRASI DAN NOMOKRASI
  • PEMISAHAN KEKUASAAN DAN PRINSIP ‘CHECKS AND BALANCES’
  • SISTEM PEMERINTAHAN PRESIDENTIL
  • CITA PERSATUAN DAN KERAGAMAN DALAM NKRI
Sehingga, dari keempat Pokok Pikiran diatas, maka dirumuskanlah perubahan UUD 45 dengan harapan akan mampu menghasilakan pemerintahan dan Negara yang lebih menjunjung tinggi Nilai nilai Demokrasi , lebih mengarah pada pemisahan kekuasaan sehingga mampu menciptakan keterbukaan dan keseimbangan dalam pemerintahan, mengarah pada system pemerintahan yang Presidensiil, serta mampu tetap menjaga keutuhan Negara Kesatuan republic Indonesia di tengah tengah Keanekaragaman Indonesia.
Maka, dengan keempat Prinsip diatas, Amanademen UUD 45 hingga amandemennya yg keempat berdampak pada  beberapa perubahan Struktur dan mekanisme beberapa Organ kenegaraan yang berarti juga berdampak langsung pada system kenegaraan Indonesia, yakni sebagai berikut :
  1. a. FORMAT BARU PARLEMEN TIGA KAMAR: MPR, DPR, DAN DPD
1. Majelis Permusyawaratan Rakyat
setelah perubahan Keempat UUD 1945, keberadaanMPR yang selama ini disebut sebagai lembaga tertinggi negara itu memang telah mengalami perubahan yang sangat mendasar, akan tetapi keberadaannya
tetap ada sehingga sistem yang kita anut tidak dapat disebut sistem bikameral
ataupun satu kamar, melainkan sistem tiga kamar (trikameralisme), perubahanperubanan mendasar dalam kerangka struktur parlemen Indonesia itu memang telah terjadi mengenai hal-hal sebagai berikut. Pertama, susunan keanggotaan
MPR berubah secara struktural karena dihapuskannya keberadaan Utusan
Golongan yang mencerminkan prinsip perwakilan fungsional (functional
representation) dari unsur keanggotaan MPR. Dengan demikian, anggota MPR
hanya terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang
mencerminkan prinsip perwakilan politik (political representation) dan anggota
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang mencerminkan prinsip perwakilan
daerah (regional representatif). Kedua, bersamaan dengan perubahan yang
bersifat struktural tersebut, fungsi MPR juga mengalami perubahan mendasar
(perubahan fungsional). Majelis ini tidak lagi berfungsi sebagai ‘supreme body’
yang memiliki kewenangan tertinggi dan tanpa kontrol, dan karena itu
kewenangannyapun mengalami perubahan-perubahan mendasar. Sebelum
diadakannya perubahan UUD, MPR memiliki 6 (enam) kewenangan yaitu:

(a)menetapkan Undang-Undang Dasar & mengubah Undang-Undang Dasar,
(b) menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara,
(c) memilih Presiden dan Wakil Presiden,
(d) meminta dan menilai pertanggungjawaban Presiden,
(e) memberhentikan Presiden dan/ atau Wakil Presiden.

Sekarang, setelah diadakannya perubahan UUD 1945, kewenangan MPR
berubah menjadi:

(a) menetapkan Undang-Undang Dasar dan/atau Perubahan UUD,
(b) melantik Presiden dan Wakil Presiden,
(c) memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden, serta
(d) menetapkan Presiden dan/atau Wakil Presiden pengganti sampai
terpilihnya Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana mestinya.

Ketiga, diadopsi prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power)
secara tegas antara fungsi legistatif dan eksekutif dalam perubahan pasal 5 ayat
(1) juncto pasal 20 ayat (1) dalam perubahan pertama UUD 1945 yang
dipertegas lagi dengan tambahan pasal 20 ayat (5) perubahan kedua UUD
1945. Dalam perubahan-perubahan tersebut ditegaskan bahwa kekuasaan
membentuk Undang-Undang berada di tangan DPR, meskipun Presiden
sebagai kepala pemerintahan eksekutif tetap diakui haknya untuk mengajukan
sesuatu rancangan Undang-Undang. Dengan perubahan ini berarti UUD 1945
tidak lagi menganut sistem MPR berdasarkan prinsip ‘Supremasi parlemen’ dan
sistem pembagian kekuasaan (distribution of power) oleh lembaga tertinggi
MPR ke lembaga-lembaga negara di bawahnya. Keempat, diadopsinya prinsip
pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dalam satu paket secara langsung oleh
rakyat dalam ketentuan pasal 6A ayat (1) perubahan ketiga UUD 1945 yang
sekaligus dimaksud untuk memperkuat dan mempertegas anutan sistem
pemerintahan presidential dalam UUD 1945. Dengan sistem pemilihan langsung
oleh rakyat itu, maka konsep dan sistem pertanggungjawaban Presiden tidak
lagi dilakukan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, tetapi juga langsung
kepada rakyat. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa dalam hubungannya
dengan pengorganisasian kedaulatan rakyat, kedaulatan yang ada ditangan
rakyat itu, sepanjang menyangkut fungsi legislatif, dilakukan oleh MPR yang
terdiri atas dua kamar dewan, sedangkan dalam bidang eksekutif dilakukan oleh
Presiden dan Wakil Presiden sebagai satu paket kepemimpinan eksekutif yang
dipilih langsung oleh rakyat. Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dulu dikenal
sebagai lembaga tertinggi negara, dimasa depan berubah menjadi nama dari
lembaga perwakilan rakyat Indonesia yang terdiri atas Dewan Perwakilan
Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah yang secara bersama-sama
kedudukannya sederajat dengan Presiden dan Wakil Presiden, serta dengan
Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
Namun, seperti dikemukakan diatas, lembaga MPR pada pokoknya
menurut ketentuan UUD 1945 pasca perubahan Keempat tetap berdiri sendiri di
samping DPR dan DPD. Banyak kritik dan ketidakpuasan mengenai pengaturan
UUD 1945 mengenai hal ini, tetapi dalam kenyataannya memang demikianlah
ketentuannya dalam UUD 1945 pasca Perubahan Keempat. Menurut ketentuan
pasal 2 ayat (1), MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD. Pasal 8 ayat
(2) menyatakan dalam hal terjadinya kekosongan wakil presiden, selambatlambatnya
dalam waktu 60 hari, MPR bersidang untuk memilih wakil presiden
dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden. Sedangkan ayat (3) nya
menyatakan bahwa dalam hal terjadinya kekosongan presiden dan wakil
presiden secara bersamaan, maka selambat-lambatnya 30 hari setelah itu, MPR
bersidang untuk memilih presiden dan wapres dari dua pasangan calon
presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang
pasangan calon Presiden dan Wapresnya meraih suara (pen: ‘yang’) terbanyak
pertama dan kedua dalam pemilu sebelumnya. Menurut ketentuan pasal 3 ayat
(3), pasal 7A dan 7B, MPR juga berwenang untuk mengubah dan menetapkan
UUD sebagaimana dimaksud oleh pasal 3 ayat (1) dan pasal 37 UUD 1945.
dengan adanya kewenangan yang demikian itu maka dapat dipahami bahwa
MPR itu adalah lembaga yang berdiri sendiri disamping DPR dan DPD. Dengan
demikian, meskipun didunia hanya dikenal adanya struktur parlemen unicameral
dan bicameral, UUD 1945 memperkenalkan sistem ketiga, yaitu parlemen
trikameral atau trikameralisme.
Analisa:
Seperti kita tahu bahwa Semenjak Amandemen UUD 45 keempat ditahun 2002, Fungsi Fungsi dan kedudukan MPR berubah dengan sangat mendasar dan fundamental seperti dijelaskan diatas. Dan menurut pendapat saya, dengan dengan perubahan tersebut memberikan dampak dan implikasi yang cukup besar, utamanya bagi kemajuan kemajuan system kenegaraan yg mungkin lebih demokrasi, ataupun sebaiknya juga terdapat sisi sisi negative, yg justru tdk lebih baik, karena menurut hemat penulis sesuatu system yg lebih demokratis bukan berarti lebih baik, karena suatu Prinsip demokrasi atau tidak (otoriter sekalipun), tetap tidak dapat dilepaskan dari Konteks Sosiologis Masyarakat Indonesia yang tetap harus menjadi Pijakan Utama didalam menentuk Prinsip prinsip pemerintahan dan mengatur ketatanegaraan.
Melihat beberapa fungsi MPR dari sebelum Amandemen dengan fungsinya setelah diamandemen dimana dilakukan pemadatan pemadatan dalam fungsi dan peranannya, menurut pendapat saya disini ada beberapa aspek positif sekaligus negative, dimana hal ini merupakan Implikasinya setelah diterapkan di lapangan system kenegaraan Indonesia, diantaranya :
  1. Perubahan dan pengurangan wewenang MPR menunjukkan Prinsip pemisahan kekuasaan dalam lembaga Negara dimana hal ini semakin menjamin Proses Demokrasi dan keterbukaan.
  2. Hal diatas berdampak pada potensi penyelewengan kekuasaan yang sangat kecil.
  3. Namun, disisi lain dengan pengangkatan MPR yang hanya dari anggota DPR dan DPD, dimana keduanya dipilih oleh rakyat secara langsung (prinsip kedaulatan rakya), juga ada beberapa efek negative yg ditimbulkan, hal ini tentunya karena factor masyarakat Indonesia, dimana perilaku memilih masyarakatnya yang cenderung tdk rasional, dan dengan kemajemukan masyarakatnya serta system multi Partai Indonesia, hal ini akan menyulitkan kata mufakat di Parlemen.
 2. Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
Keberadaan Dewan Perwakilan Daerah menurut ketentuan UUD 1945
pasca perubahan juga banyak dikritik orang. Lembaga ini semula didesain
sebagai kamar kedua parlemen Indonesia di masa depan. Akan tetapi, salah
satu ciri bikameralisme yang dikenal di dunia ialah apabila kedua-dua kamar
yang dimaksud sama-sama menjalankan fungsi legislatif sebagaimana
seharusnya. Padahal, jika diperhatikan DPD sama sekali tidak mempunyai
kekuasaan apapun dibidang ini. DPD hanya memberikan masukan
pertimbangan, usul, ataupun saran, sedangkan yang berhak memutuskan
adalah DPR, bukan DPD. Karena itu, keberadaan DPD di samping DPR tidak
dapat disebut sebagai bikameralisme dalam arti yang lazim. Selama ini
dipahami bahwa jika kedudukan kedua kamar itu di bidang legislatif sama kuat,
maka sifat bikameralismenya disebut ‘strong becameralism’, tetapi jika kedua
tidak sama kuat, maka disebut ‘soft becameralism’. Akan tetapi, dalam
pengaturan UUD 1945 pasca perubahan Keempat, bukan saja bahwa struktur
yang dianut tidak dapat disebut sebagai ‘strong becameralism’ yang kedudukan
keduanya tidak sama kuatnya, tetapi bahkan juga tidak dapat disebut sebagai
‘soft becameralism’ sekalipun.
DPD, menurut ketentuan pasal 22D (a) dapat mengajukan rancangan UU
tertentu kepada DPR (ayat 1), (b) ikut membahas rancangan UU tertentu (ayat
2), (c) memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan UU APBN dan
rancangan UU tertentu (ayat 2), (d) dapat melakukan pengawasan atas
pelaksanaan UU tertentu (ayat 3). Dengan kata lain, DPD hanya memberikan
masukan, sedangkan yang memutuskan adalah DPR, sehingga DPD ini lebih
tepat disebut sebagai Dewan Pertimbangan DPR, karena kedudukannya hanya
memberikan pertimbangan kepada DPR.
Ironisnya, mekanisnme pengisian jabatan keanggotaan DPD ini lebih berat
bila dibandingkan dengan mekanisme pengisian keanggotaan DPR. Anggota
DPD dipilih dari setiap propinsi melalui pemilu (pasal 22c ayat 1), anggota DPD
dari tiap propinsi jumlahnya sama dan seluruh anggota DPD tidak lebih dari
sepertiga jumlah anggota DPR (ayat 2). Jika ditentukan bahwa dari setiap
propinsi jumlahnya 4 orang, maka seseorang yang ingin menduduki kursi DPD
harus bersaing di tingkat propinsi untuk memperebutkan 4 kursi. Misalnya saja,
di Jawa Timur, satu kursi anggota DPD membutuhkan dukungan suara sekitar
5,5 juta pemilih, sedangkan untuk menjadi anggota DPR cukup dibutuhkan
sekitar 550 ribu suara pemilih. Disamping itu, peserta pemilu menjadi anggota
DPD adalah perorangan, sedangkan peserta pemilu untuk DPR adalah partai
politik. Artinya, dapat terjadi tokoh perorangan yang akan tampil sebagai calon
anggota DPD menghadapi kesulitan luar biasa dalam menggalang dukungan
bagi dirinya, sedangkan calon anggota DPR cukup memanfaatkan struktur
partai politiknya sebagai mesin penghimpun dukungan suara dalam pemilihan
umum. Dengan perkataan lain, sudah sulit-sulit untuk mejadi anggota
perwakilan ditingkat pusat, setelah berhasil, kewenangannya sangat terbatas.
Karena itu, banyak orang yang pesimis dengan pola pengaturan DPD yang
demikian.
Tentu ada juga argumen sebaliknya yang cenderung lebih optimis. Justru
karena kewenangannya yang terbatas itu menyebabkan DPD dapat terhindar
dari sasaran kritik dari masyarakat madani (civil society), asalkan para anggota
DPD dapat terbuka. Karena pusat kewenangan untuk memutuskan atas nama
rakyat dan untuk kepentingan dan aspirasi rakyat ada di DPR, maka DPR-lah
yang akan menjadi pusat hujatan dan kemarahan apabila aspirasi rakyat tidak
sungguh-sungguh disalurkan. Dengan demikian, para anggota DPD dapat
bermain ditengah gelombang aspirasi rakyat secara lebih terbuka dan memihak
kepada rakyat didaerah-daerah. Karena itu, bagi para politisi muda, DPD dapat
menjadi wadah baru untuk aktualisasi diri dan forum pelatihan kepemimpinan
politik yang efektif untuk masa depan. Oleh karena itu, ditengah kritik dan
kekecewaan atas pengaturan yang sangat mengecil arti lembaga perwakilan
daerah ini, masih tersisa optimisme yang cukup menjanjikan untuk penataan
sistem politik nasional ke depan.
Analisa:
Dengan melihat fungsi dan peranan dari DPD (dewan perwakilan daerah) sendiri, dimana ia mewakili aspirasi rakyat dari daerah daerah yang diwakilinya , namun ia tidak memiliki hak otoritas dalam menentukan kebijakan, dimana kebijakan hanya bisa ditentukan oleh DPR (DPD hanya memberikan pertimbangan), menurut pendapat penulis hal ini merupakan sesuatu  yg kontradiksi, karena dalam penerapannya hal ini sangat rentasn terhadap disfungsinya sebagai perwakilan, karena dengan demikian akan sangat sulit meminta pertanggungjawaban atas kinerjanya.
Sehingga menurut pendapat Penulis , secara umum berkenaan dengan keberadaan DPD ialah :
  • Merupakan kelembagaan yang sangat tidak efektif, sudah cukup terwakili oleh adanya DPRD
  • Apabila DPD dipandang masih diperlukan, maka alangkah baiknya DPD diberikan otoritas dalam menentukan kebijakan2 atas kedaerahannya, sehingga dengan demikian akan sangat mudah untuk meminta pertanggungjawaban dan sebagai fungsi control kinerja untuk menghindari resiko disfungsi jabatan dan Organ kenegaraan.
3.Dewan Perwakilan Rakyat
Berdasarkan ketentuan UUD 1945 pasca Perubahanan Keempat, fungsi
legislatif berpusat di tangan Dewan Perwakilan Rakyat. Hal ini jelas terlihat
dalam rumusan pasal 20 ayat (1) yang baru yang menyatakan: “Dewan
Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang”.
Selanjutnya dinyatakan: “setiap rancangan Undang-Undang dibahas oleh DPR
dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Rancangan Undang-
Undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu”.
Kemudian dinyatakan pula” Presiden mengesahkan rancangan Undang-Undang
yang telah mendapat disetujui bersama untuk menjadi Undang-Undang” (ayat
4), dan “dalam hal rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama
tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu 30 hari semenjak rancangan
Undang-Undang tersebut disetujui, rancangan Undang-Undang tersebut sah
menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan”.
Dari ketentuan pasal 20 itu dapat dipahami bahwa: Pertama, lembaga
legislasi atau legislator adalah DPR, bukan Presiden dan apalagi DPD; Kedua,
Presiden adalah lembaga yang mengesahkan rancangan Undang-Undang yang
telah mendapat persetujuan bersama dalam rapat paripurna DPR resmi menjadi
Undang-Undang; Ketiga, rancangan Undang-Undang yang telah resmi SAH
menjadi Undang-Undang wajib diundangkan sebagaimana mestinya; Keempat,
setiap rancangan Undang-Undang dibahas bersama untuk mendapat
persetujuan bersama antara DPR dan Presiden dalam persidangan DPR.
Dalam hal rancangan Undang-Undang berasal dari inisiatif DPR, maka Institusi
DPR sebagai satu kesatuan akan berhadapan dengan Presiden sebagai satu
kesatuan institusi yang dapat menolak usul inisiatif DPR itu seluruhnya ataupun
sebagian materinya. Dalam hal demikian maka rancangan Undang-Undang
yang diajukan oleh DPR itu tidak dapat lagi diajukan dalam persidangan DPR
masa itu. Posisi Presiden dan DPR dalam hal ini dapat dikatakan saling
berimbang. Di satu pihak, dalam proses pembahasan materi rancangan
Undang-Undang, posisi Presiden/pemerintah lemah karena harus berhadapan
dengan DPR sebagai satu kesatuan institusi. Dalam hal ini, Presiden tidak dapat
lagi memanfaatkan dukungan partai politiknya sendiri yang ada di DPR untuk
mendukung kebijakan Pemerintah mengenai materi rancangan Undang-Undang
yang sedang dibahas. Akan tetapi, dipihak lain, Presiden/Pemerintah
mempunyai posisi yang kuat karena dapat mem-‘veto’ dengan cara menolak
untuk memberikan persetujuan atas sesuatu materi ataupun keseluruhan materi
Undang-Undang yang bersangkutan.
Kelima, dalam hal rancangan Undang-Undang itu datang dari Presiden,
maka seperti terhadap rancangan Undang-Undang inisiatif DPR,
pembahasannya pun dilakukan secara bersama-sama untuk mendapatkan
persetujuan bersama. Dalam hal ini, yang berhak menolak seluruhnya ataupun
sebagiannya adalah DPR sebagai institusi. Jika rancangan itu ditolak
seluruhnya oleh DPR, maka rancangan Undang-Undang itu juga tidak dapat lagi
diajukan dalam persidangan DPR masa yang bersangkutan. Dalam forum
pengambilan putusan oleh DPR dapat terjadi bahwa sesuatu materi ataupun
seluruh materi rancangan Undang-Undang yang bersangkutan diputuskan
dengan pemungutan suara dapat rapat paripurna DPR. Dalam hal demikian,
Presiden/pemerintah tidak mempunyai ‘voting rights’ sama sekali. Maka dapat
dikatakan bahwa dalam hal ini DPR mempunyai kedudukan yang lebih kuat
daripada Presiden/Pemerintah, karena DPR-lah yang memutuskan, bukan
Presiden. Jika sebagian materi rancangan Undang-Undang itu, tidak mendapat
DPR berarti materi yang bersangkutan harus dikeluarkan dari rancangan
Undang-Undang yang bersangkutan, dan secara a contrario, juga tidak dapat
diajukan lagi untuk diatur dengan atau dalam Undang-Undang lain dalam
persidangan DPR masa itu.
Keenam, setelah suatu rancangan Undang-Undang mendapat persetujuan
bersama yang ditandai oleh pengesahannya dalam rapat paripurna DPR, maka
rancangan Undang-Undang yang bersangkutan secara substantif atau secara
material telah menjadi Undang-Undang, tetapi belum mengikat umum karena
belum disahkan oleh Presiden serta diundangkan sebagaimana mestinya.
Karena, RUU yang telah mendapat persetujuan dalam rapat paripurna DPR itu
secara materiel tidak dapat diubah meskipun Presiden tidak menyetujui isinya.
RUU akan berubah menjadi resmi mengikat umum semata-mata karena (a)
faktor pengesahan oleh Presiden dengan cara menandatangani naskah
Undang-Undang itu, dan (b) faktor tenggang waktu 30 hari sejak pengambilan
keputusan atas rancangan Undang-Undang tersebut dalam rapat paripurna
DPR. Dengan demikian, secara materiel, proses pembentukan Undang-Undang
telah selesai (final) dengan telah diambilnya putusan dalam rapat paripurna
DPR yang mengesahkan rancangan Undang-Undang yang telah dibahas
bersama. Karena itu, dapat dibedakan adanya dua instansi pengesahan suatu
rancangan Undang-Undang, yaitu pengesahan materiel oleh DPR dan
pengesahan formil oleh Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat
(4) UUD 1945. Tindakan pengesahan materiel itu dilakukan melalui
pengembilan putusan akhir oleh DPR atas suatu rancangan Undang-Undang
dalam persidangan atau rapat paripurna DPR, sedangkan tindakan pengesahan
formil dilakukan oleh Presiden dengan cara membubuhkan tandatangan pada
bagian akhir naskah Undang-Undang. Selanjutnya, atas perintah Presiden,
Undang-Undang yang bersangkutan diundangkan dengan cara
menempatkannya dalam registrasi Lembaran Negara dengan memberikan
nomer registrasi dan pembuatan salinan oleh Sekretaris Negara, dan penerbitan
Lembaran Negara yang bersangkutan sebagaimana mestinya.
Analisa:
Disini Penulis tidak akan cukup banyak membicarakan persoalan Prosedural DPR dalam hal Pembuatan Undang undang dan perumusannya mulai dari rancangan undang undang hingga menjadi undang undang yang sah, serta mekanismenya yang harus berupa kesepakatan dengan pihak Eksekutif, karena menurut pandangan penulis hal tersebut sudah cukup matang menjadi sebuah system dan penataan yang cukup baik antara parlemen dengan pihak eksekutif dalam penyelenggaraan Negara, dimana menurut saya, keduanya sudah cukup seimbang dengan mekanisme dan procedural yang sedemikian rupa seperti yang diatur dibawah undang undang 45. Namun, disisi lain Penulis mencoba menganalisanya dari sisi perekrutan para anggota anggota DPR sendiri, sebagaimana diatur dalam undang undang bahwa para Anggota DPR dipilih secara langsung oleh rakyat lewat Pemilihan Umum.
Menurut pendapat saya, hal ini akan berimplikasi pada :
  • Dengan Kondisi Masyarakat yang dalam perilaku memilih yg tdk rasional,
  • Kemudian ditunjang dengan System Pemilihan Umum yang masih lemah, dengan system Multipartai dan system pemilu dimana masyarakat tdk mengetahui capabelitas dari para calon calon wakil rakyat.
  • Maka, hal diatas dapat melemahkan system rekrutmen dari DPR sendiri
  • Dan apabila hal itu terjadi, maka sama halnya dengan melemahkan fungsi dan Peranan DPR sendiri, karena kualitas dan stabilitas DPR sendiri tetap tergantung dari orang orang didalamnya.
  • Apabila para anggota DPR secara Capabelitiasnya kurang, maka akan melemahkan Stabilitas system ketatangeraan Indonesia, setiap kebijakan dan undang undang yang dirumuskan tidak akan mampu membawa kemajuan dan kemakmuran bagi masyarakat Indonesia.
  1. b.      FORMAT BARU KEKUASAAN KEHAKIMAN: MK dan MA
Sebelum adanya Perubahan UUD, kekuasaan kehakiman atau fungsi
yudikatif (judicial) hanya terdiri atas badan-badan pengadilan yang berpuncak
pada mahkamah agung. Lembaga Mahkamah Agung tersebut, sesuai dengan
prinsip ‘independent of judiciary’ diakui bersifat mendiri dalam arti tidak boleh
diintervensi atau dipengeruhi oleh cabang-cabang kekuasaan lainnya, terutama
pemerintah. Prinsip kemerdekaan hakim ini selain diatur dalam Undang-Undang
pokok kekuasaan kehakiman, juga tercantum dalam penjelasan pasal 24 UUD
1945 yang menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman tidak boleh dipengaruhi
oleh cabang-cabang kekuasaan lain. Namun, setelah perubahan ketiga UUD
1945 disahkan, kekuasaan kehakiman negara kita mendapat tambahan satu
jenis mahkamah lain yang berada di luar mahkamah agung. Lembaga baru
tersebut mempunyai kedudukan yang setingkat atau sederajad dengan
Mahkamah Agung. Sebutannya adalah Mahkamah Konstitusi (constitutional
court) yang dewasa ini makin banyak negara yang membentuknya di luar
kerangka Mahkamah Agung (supreme court). Dapat dikatakan Indonesia
merupakan negara ke-78 yang mengadopsi gagasan pembentukan Mahkamah
Konstitusiyang berdiri sendiri ini, setelah Austria pada tahun 1920, Italia pada
tahun 1947 dan Jerman pad tahun 1948.
Dalam perubahan ke tiga Undang-Undang Dasar, Mahkamah Konstitusi
ditentukan memiliki lima kewenangan, yaitu: (a) melakukan pengujian atas
konstitusionalitas Undang-Undang; (b) mengambil putusan atau sengketa
kewenangan antar lembaga negara yang ditentukan menurut Undang-Undang
Dasar; (c) mengambil putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum ataupun
mengalami perubahan sehingga secara hukum tidak memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden menjadi terbukti dan karena itu dapat
dijadikan alasan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk memberhentikan
Presiden dan/atau Wakil Presiden dari jabatannya; (d) memutuskan perkara
perselisihan mengenai hasil-hasil pemilihan umum, dan (e) memutuskan
perkara berkenaan dengan pembubaran partai politik.
Mahkamah Konstitusi beranggotakan 9 orang yang memiliki integritas, dan
memenuhi persyaratan kenegarawanan, serta latar belakang pengetahuan yang
mendalam mengenai masalah-masalah ketatanegaraan. Ketua dan Wakil Ketua
Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh anggotanya sendiri yang berasal dari
3 orang yang dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat, 3 orang yang ditentukan
oleh Mahkamah Agung, dan 3 orang ditentukan oleh Presiden. Seseorang yang
berminat untuk menjadi hakim konstitusi, dipersyaratkan harus memiliki
integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai
konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara.
Dengan komposisi dan kualitas anggotanya yang demikian. Diharapkan bahwa
Mahkamah Konstitusi itu kelak akan benar-benar bersifat netral dan independen
serta terhindar dari kemungkinan memihak kepada salah satu dari ketiga
lembaga negara tersebut.
Ada beberapa kritik yang biasa diajukan orang berkenaan dengan
pembagian tugas antara Mahkamah Konstitusi ini dengan Mahkamah Agung.
Salah satunya adalah dalam soal pembagian tugas di bidang pengujian
peraturan (judicial review) atas peraturan perUndang-Undangan. Mahkamah
Konstitusi berdasarkan ketentuan pasal 24C ayat (1) ditentukan berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final
untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar. Sedangkan
dalam pasal 24A ayat (1) UUD 1945 dinyatakan “Mahkamah Agung berwenang
mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan Perundang-undangan di
bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang ….”. Pembagian demikian
sama sekali tidak ideal, karena dapat menimbulkan perbedaan atau putusan
yang saling bertentangan antara Mahkamah Konstitusi dengan Mahkamah
Agung. Yang paling sering saya jadikan contoh hipotesis adalah berkenaan
dengan keabsahan materiel PP No. 110/2000 dibandingkan dengan UU No.
22/1999 di satu pihak, dan keabsahan UU No. 22/1999 dibandingkan dengan
pasal 18 UUD 1945 dipihak lain. Misalnya, dapat saja terjadi Mahkamah Agung
memutuskan bahwa PP No. 110/2000 tersebut bertentangan dengan UU No.
22/1999, sementara pada saat yang sama Mahkamah Konstitusi memutuskan
UU No. 22/1999 itu bertentangan dengan UUD 1945.
Perbedaan ini sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari kenyataan bahwa
memang sejak sebelumnya Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan
Perundang-undangan di bawah Undang-Undang. Bahkan ketentuan demikian
ditegaskan pula dalam ketetapan MPR No. III/MPR/2000. Karena itu, ketika
disepakati diadopsinya ide pembentukan Mahkamah Konstitusi dalam
perubahan ketiga UUD 1945 pada tahun 2001, maka ketentuan lama berkenaan
dengan kewenangan Mahkamah Agung itu dituangkan dalam rumusan
ketentuan pasal 24A perubahan ketiga UUD 1945 tersebut. Lagipula, memang
ada juga negara lain yang dijadikan salah sumber inspirasi juga oleh anggota
panitia ad hoc I Badan Pekerja MPR ketika merumuskan ketentuan mengenai
Mahkamah Konstitusi ini, yaitu Mahkamah Konstitusi Korea Selatan. Dalam
konstitusi Korea Selatan, kewenangan ‘judicial review’ (constutitional review)
atas Undang-Undang memang diberikan kepada Mahkamah Konstitusi, tetapi
kewenangan ‘judicial review’ atas peraturan dibawah Undang-Undang diberikan
kepada Mahkamah Agung. Terlepas dari kelemahan ini, menurut pendapat saya
biarlah untuk semenatara waktu pembagian demikian diterima dan dipraktekkan
dulu pada tahap-tahap awal pertumbuhan lembaga Mahkamah Konstitusi ini di
Indonesia. Namun, untuk jangka panjang, memang harus dipikirkan
kemungkinan mengintegrasikan seluruh sistem pengujian peraturan di bawah
kewenangan Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian, keadilan bagi warga
negara dapat diwujudkan secara integral di bawah fungsi Mahkamah Agung,
sedangkan peradilan atas sistem hukum dan peraturan Perundang-undangan di
letakkan di bawah pengawasan Mahkamah Konstitusi.
Mengenai Mahkamah Agung, dalam asal 24 ayat (2), dibedakan antara
badan peradilan dari lingkungan, peradilan. “kekuasaan kehakiman dilakukan
oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya
dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi”. Oleh sebab itu, badan-badan peradilan dalam keempat
lingkungan peradilan tersebut semuanya berada di bawah Mahkamah Agung,
harus dibedakan antara organ Mahkamah dan badan-badan peradilan dengan
hakim sebagai pejabat hukum dan penegak keadilan. Hubungan antar satu
hakim dengan hakim yang lain bersifat horizontal, tidak ada hubungan vertical
atasan dan bawahan. Namun, organisasinya terdapat struktur vertical atas
bawah. Pengadilan tinggi adalah organisasi bawah Mahkamah Agung, dan
Pengadilan Negeri adalah organisasi bawahan Pengadilan Tinggi. Hal ini jelas
berbeda dari pengetian yang timbul dari doktrin kebebasan atau kemerdekaan
hakim, yaitu setiap individu hakim dalam menjalankan tugas utamanya sebagai
hakim bersifat bebas dan merdeka tidak bertanggungjawab kepada atasannya.
Komisi Yudisial
Selain kedua badan kekuasaan kehakiman tersebut ada lagi satu lembaga
baru yang kewenangannya ditentukan dalam UUD, yaitu komisi Yudisial.
Dewasa ini, banyak negara terutama negara-negara yang sudah maju
mengembangkan lembaga komisi Yudisial (judicial commisions) semacam ini
dalam lingkungan peradilan dan lembaga-lembaga penegak hukum lainnya
maupun di lingkungan organ-organ pemerintahan pada umumnya. Meskipun
lembaga baru ini tidak menjalankan kekuasaan kehakiman, tetapi
keberadaannya diatur dalam UUD 1945 Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman,
karena itu, keberadaannya tidak dapat dipisahkan dari kekuasaan kehakiman.
Dalam pasal 24B ditegaskan: (1) Komisi Yudisial bersifat mandiri yang
berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan mempunyai
kewenangan lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,
keleluhuran martabat, serta perilaku hakim; (2) Anggota Komisi Yudisial harus
mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki
integritas dan kepribadian yang tidak tercela; (3) Anggota Komisi Yudisial
diangkat dan diberhentikn oleh Presiden dengan persetujuan DPR; (4) Susunan,
kedudukan dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan Undang-Undang.
Dari ketentuan mengenai Komisi Yudisial ini dapat dipahami bahwa
jabatan hakim dalam konsepsi UUD 1945 dewasa ini adalah jabatan
kehormatan yang perlu dijaga dan ditegakkan kehormatannya oleh suatu
lembaga yang juga bersifat mandiri, yaitu Komisi Yudisial. Pembentukan
lembaga baru ini dapat dikatakan merupakan pengembangan lebih lanjut ide
pembentukan Majelis Kehormatan Hakim Agung yang sudah berkembang
selama ini, akan tetapi, jika majelis semacam ini dibentuk di lingkungan internal
Mahkamah Agung, maka sulit diharapkan akan efektif menjalankan fungsi
pengawasan atas kehormatan hakim agung itu sendiri, karena kedudukannya
yang tidak independen terhadap subyek yang akan diawasi. Disamping itu, jika
lembaga ini dibentuk di dalam struktur Mahkamah Agung, maka subyek yang
diawasinya dapat diperluas ke semua hakim, termasuk hakim konstitusi dan
hakim di seluruh Indonesia. Di samping itu, kedudukan Komisi Yudisial itu dapat
pula diharapkan bersifat mandiri dan independen sehingga dapat diharapkan
menjalankan tugasnya secara lebih efektif. Khusus terhadap Mahkamah Agung
tugas Komisi Yudisial itu dikaitkan dengan fungsi pengusulan pengangkatan
Hakim Agung, sedangkan pengusulan pengangkatan hakim lainnya, seperti
hakim konstitusi, misalnya tidak diakitkan dengan komisi Yudisial.
Analisa:
Seperti diungkapkan sebelumnya bahwa Lembaga Kehakiman pada hakekatya adalah lembaga yang bersifat mandiri, dan terlepas dari pengaruh pengaruh dan dominasi dari lembaga lembaga Negara lainnya manapun, sehingga lembaga kehakiman disini benar benar terbebeas dari intervensi dan bersifat netral.
Dan setelah Amandemen keempat UUD 45, kekuasaan Kehakiman kini tidak hanya bersifat independent dari satu kelembagaan, tetapi menjadi dua lembaga, yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, yang sebelum diamandemen hanya dikuasai oleh Lembaga Mahkamah Agung. Menurut hemat Saya, Alasan yang paling kuat mengapa Dibentuknya lembaga Mahkamah Konstitusi didamping lembaga Mahkamah Agung hanya semata mata karena untuk Pembatasan kekuasaan dan sifat keterbukaan didalam setiap penanganan konflik di badan Pemerintahan di kalangan eksekutif dan legislative.
Sehingga, untuk menghindari potensi dominasi dominasi lembaga atau pihak tertentu dalam penyelesaian perkara tertentu, maka dari itu untuk menghindari kemungkinan kemngkinan tersebut, mahkamah konstitusi dibentuk untuk meminimalisir hal tersebut.
Namun, disi lain tetap terdapat hal hal yang justru berdampak pada System pengorganan dan mekanisme yang terlalu rumit, diantaranya :
  • Dengan adanya dua lembaga kehakiman, hal ini bertentangan dengan prinsip kehakiman yang seharusnya bersifat mandiri dan Independen, karena dengan dua lembaga berarti dalam pengorganisasian dan kewenangan juga terbagi menjadi dua.
  • Hal tersebut tentu akan menyulitkan dalam Implementasinya, dan sangat berpotensi sekali terhadap resistensi kepercayaan kehakiman karena perbedaan dua kewenangan yang sangat potensial untuk terjadi bias bias kewenangan dan kebijakan antara keduanya.
  • Dalam prinsip managemen Konflik yang efektif, hal tersebut sebenarnya sangatlah tidak efektif yang justru akan menghambat fungsi fungsi dan peranan kehakiman itu sendiri sebagai lembaga Yudikatif dalam Negara.
C. KEKUASAAN PEMERINTAHAN NEGARA

1. Kepala Pemerintahan Eksekutif: Presiden Dan Wakil Presiden

Pemerintahan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar
1945 sering dikatakan menganut sistem presidential. Akan tetapi, sifatnya tidak
murni, karena bercampur baur dengan elemen-elemen sistem parlementer.
Percampuran itu antara lain tercermin dalam konsep pertanggung-jawaban
Presiden kepada MPR yang termasuk ke dalam pengertian lembaga parlemen,
dengan kemungkinan pemberian kewenangan kepadanya untuk
memberhentikan Presiden dari jabatanya, meskipun bukan karena alasan
hukum. Kenyataan inilah yang menimbulkan kekisruhan, terutama dikaitkan
dengan pengalaman ketatanegaraan ketika Presiden Abdurrahman Wahid
diberhentikan dari jabatannya. Jawaban atas kekisruhan itu adalah munculnya
keinginan yang kuat agar anutan sistem pemerintahan Republik Indonesia yang
bersifat Presidentil dipertegas dalam kerangka perubahan Undang-Undang
Dasar 1945.
Selain alasan yang bersifat kasuitis itu, dalam perkembangan praktek
ketatanegaraan Indonesia selama ini memang selalu dirasakan adanya
kelemahan-kelemahan dalam praktek penyelenggaraan sistem pemerintahan
Indonsia berdasarkan UUD 1945. sistem pemerintahan yang dianut, dimata
para ahli cenderung disebut ‘quasi presidentil’ atau sistem campuran dalam
konotasi negatif, karena dianggap banyak mengandung distorsi apabila
dikaitkan dengan sistem demokrasi yang mempersyaratkan adanya mekanisme
hubungan ‘checks and balances’ yang lebih efektif di antara lembaga-lembaga
negara yang ada. Kerana itu, dengan empat perubahan pertama UUD 1945,
khususnya dengan diadopsinya sistem pemilihan Presiden langsung, dan
dilakukannya perubahan struktural maupun fungsional terhadap kelembagaan
Majelis Permusyawaratan Rakyat, maka anutan sistem pemerintahan kita
menjadi makin tegas menjadi sistem pemerintahan Presidentil.
Dalam sistem Presidentil yang murni, pada pokoknya, tidak lagi perlu
dipersoalkan mengenai pembedaan atau apalagi pemisahan antara fungsi
kepala negara dan kepala pemerintahan. Pembedaan dan pemisahan antara
kedua fungsi itu hanya relevan dalam sistem pemerintahan parlementer yang
memang mempunyai dua jabatan terpisah, yaitu kepala negara dan kepala
pemerintahan. Sedangkan sistem pemerintahan Presidentil cukup memiliki
Presiden dan Wakil Presiden saja tanpa mempersoalkan kapan ia berfungsi
sebagai kepala negara dan kapan sebagai kepala pemerintahan. Dengan
demikian tidak perlu lagi ada pembedaan antara sekretariat negara dan
sekretariat kabinet ataupun keputusan Presiden sebagai kepala negara dan
keputusan Presiden sebagai kepala pemerintahan, Republik Indonesia
berdasarkan sistem Presidentil hanya memiliki Presiden dan Wakil Presiden
dengan tugas dan kewenangannya masing-masing.
Bahkan, dalam konteks pengertian Negara Hukum, prinsip “the rule of
law”, dapat dikatakan bahwa secara simbolik, yang dinamakan Kepala Negara
dalam sistem pemerintahan Presidentil itu adalah konstitusi. Dengan perkataan
lain, kepala negara dari negara konstitusional Indonesia adalah Undang-Undang
Dasar, sedangkan Presiden dan Wakil Presiden beserta semua lembaga negara
atau subyek hukum tatanegara lainnya harusnyalah tunduk kepada konstitusi
sebagai ‘the symbolic head of state’ itu. Presiden dan Wakil Presiden cukup
disebut sebagai Presiden dan Wakil Presiden saja dengan seperangkat hak dan
kewajibannya masing-masing atau tugas dan kewenangannya masing-masing.
Tidak ada keperluasn untuk membedakan kapan ia bertindak sebagai kepala
negara dan kapan ia berperan sebagai kepala pemerintahan seperti kebiasaan
dalam sistem pemerintahan parlementer. Oleh karena itu, dalam sistem
kenegaraan yang dapat kita sebut ‘constitutional democratic republic’,
kedudukan KONSTITUSI bersifat sangat sentral. Konstitusi pada dasarnya
merupakan KEPALA NEGARA yang sesungguhnya.
Analisa :
Seperti diungkapkan diatas, bahwa setelah Amanadmen keempat  UUD 45 hal yang paling Prinsip dalam perubahan UUD 45 tersebut adalah dimana Kekuasaan pemerintdk tahan tersebut dipilih langsung oleh rakyat , dimana pada Pemilihan Umum rakyat memilih secara langsung Presiden dan Wakil Presidennya dalam satu pasang Calon, dan yang kedua adalah dimana Fungsi fungsi dan perenan MPR yang lebih dipersempit, dimana MPR tdk ada wewenang dalam menentukan pilihan Presiden dan wakil Presiden, tetapi MPR hanya melantik Presiden da wakil Presiden.
Menurut pandangan penulis, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam Perubahan perubahan diatas berkenaan dengan Kekuasaan pemerintah Esekutif; Presiden Dan Wakil Presiden, diantaranya adalah :
  • Menurut saya, perubahan perubahan diatas sebenarnya hendak mengarah pada sebuah System yang lebih terbuka, dimana Negara Indonesia hendak menunjukkan bahwa Indonesia sebagai Negara Negara yang benar benar demokrasi dan sebenar benarnya memegang teguh kedaulatan rakyat, kekuasaan hanya ditangan rakyat.
  • Namun, disisi lain yang harus tetap diperhatikan adalah bahwa kita harus tetap memperhatikan aspek masyarakat Indonesia, dimana rakyat Indonesia masih belum sepenuhnya mengerti akan Politik yang baik, dimana masih belum ada pada sisi pemerintah dalam memberikan Pendidikan Politik kepada rakyatnya, sehingga suara terbanyak dari rakyat bukan berarti itu adalah yang terbaik.
  • Sehingga, menurut saya dengan melihat aspek Keindonesiaan diatas, maka sebaiknya dalam Pemilihan kekuasaan eksekutif Presiden dan wakilnya tidak sepenuhnya ditentukan oleh rakyat. Dalam Pemilihan Umum, tentunya tidak masalah apabila rakyat memilih dan menentukan pilihannya sebagai haknya sebagai warga Negara dan penyaluran aspirasi politiknya kepada Negara, namun sebaiknya tetap harus ada jembatan MPR disini dalam melakukan Permusyawaratan sebagai lembaga yang dipandang lebih ahli dan mengerti tentang arah dan cita cita bangsa dan Negara yang sebenarnya.
2. Badan dan Lembaga Eksekutif Yang Bersifat INDEPENDEN

Selain lembaga-lembaga negara seperti tersebut di atas, bentuk
keorganisasian banyak negara modern dewasa ini juga mengalami
perkembangan-perkembangan yang sangat pesat, khususnya berkenaan
dengan inovasi-inovasi baru yang tidak terelakkan. Perkembanganperkembangan
baru itu juga terjadi di Indonesia di tengah keterbukaan yang
muncul bersamaan dengan gelombang demokratisasi di era reformasi empat
tahun terakhir. Pada tingkatan pertama, muncul kesadaran yang makin kuat
bahwa badan-badan negara tertentu seperti organisasi Tentara, organisasi
Kepolisian dan Kejaksaan Agung, serta Bank Sentral harus dikembangkan
secara independen. Independensi lembaga-lembaga ini diperlukan untuk
kepentingan menjamin pembatasan kekuasaan dan demokratisasi yang lebih
efektif. Dari keempatnya, yang sekarang ini telah menikmati kedudukan yang
independen adalah organisasi Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian
Negara (POLRI) dan Bank Indonesia sebagai bank sentral. Sedangkan
Kejaksaan Agung sampai sekarang belum ditingkatkan kedudukannya menjadi
yang independen.
Pada tingkat kedua, juga muncul perkembangan berkenaan dengan
lembaga-lembaga khusus seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(KOMNAS HAM), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Ombudsman, Komisi
Persaingan Usaha Pemberantasan Korupsi (KPPU), Komisi Pemeriksa
Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN), Komisi Pemberantasan Korupsi,
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), dan lain sebagainya, jika nanti,
Undang-Undang tentang Penyiaran jadi disahkan, akan ada pula komisi baru
lagi, yaitu Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang juga bersifat independen. Di
bidang administrasi dan pelaporan transaksi keuangan dibentuk pula lembaga
baru yang bernama Pusat dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang
juga ditentukan bersifat independen. Selain itu, ada pula komisi yang dibentuk
hanya dengan Keputusan Presiden, misalnya, Komisi Hukum Nasional (KHN).
Komisi-komisi atau lembaga-lembaga semacam ini selalu diidealkan
bersifat independen dan seringkali memiliki fungsi-fungsi yang bersifat campursari,
yaitu semi legislatif dan regulatif, semi-administratif, dan bahkan semi
yudikatif. Bahkan, dalam kaitan itu muncul pula istilah ‘independent and self
regulatory bodies’ yang juga berkembang di banyak negara. Di Amerika Serikat,
Lembaga-lembaga seperti ini tercatat lebih dari 30-an jumlahnya dan pada
umumnya jalur pertanggungjawabannya secara fungsional dikaitkan dengan
Kongres Amerika Serikat. Yang dapat dijadikan contoh dalam hal ini, misalnya,
adalah Federal Trade Commission (FTC), Federal Communication Commision
(FCC), dan sebagainya. Kedudukan lembaga-lembaga ini di Amerika Serikat,
meskipun secara administratif tetap berada di lingkungan pemerintahan
eksekutif, tetapi pengangkatan dan pemeberhentian para anggota komisi itu
ditentukan dengan pemilihan oleh Kongres. Karena itu, keberadaan lembagalembaga
seperti ini di Indonesia dewasa ini, betapapun juga, perlu didudukkan
pengaturannya dalam kerangka sistem ketatanegaraan Indonesia Modern, dan
sekaligus dalam kerangka pengembangan sistem hukum nasional yang lebih
menjamin keadilan dan demokrasi di masa yang akan datang.
Analisa:
Disini Saya tidak akan banyak menungkap tentang Badan badan atau lembaga lembaga Eks ekutif yang bersifat Indenpenden, karena hal itu itu semata mata hanya untuk membatasi kekuasaan penguasa, dimana hal tersebut untuk meminimalisir penyelewengan kekuyasaan dengan penguasaan sector sector atau Pos pos penting kenegaraan, menurut pendapat saya, hal tersebut tentunya sebuah tindakan dan perubahan yang tepat, dikarenakan demi teta menjaga kestabilan Negara dan bagaimana asset serta alat lat vitasl Negara semuanya tersalurkan dengan baik demi memenuhi aspirasi rakyat Indonesia.
Namun, hal yang perlu diperhatikan juga adalah bahwa tetap didalam pemberian kewenangan kepada pihak Pihak Independen dalam lembaga eksekutif, tetap makna Independen disini buka berarti sebebas bebasnya menjalankan dan menentukan kebijakan tanpa batas,  bagaimanapun juga lembaga independen tetap harus ada control dan pertanggungjawaban yang jelas atas kinerja dan peranannya dalam menjalankan fungsi dan pelayannanya terhadap Negara dan rakyat Indoensia.
Dan, mungkin hal inilah yang masih menjadi PR bagi Negara kita, yang masih belum jelas bagimana mekanisme pertanggungjawabannya, dan tentunya hal ini harus dirumuskan oleh Undang undang atau dalam konstitusi, karena Supremasi hukum tetinggi kita adalah Konstitusional tersebut (the symbolic head of state)
Kesimpulan

Negara Indonesia dalam system Pemerintahan dan ketatangeraannya telah banyak mengalami Perubahan perubahan organ organ negaranya serta mekanisme, fungsi, dan peranannya. Konstitusi yang pada hakekatnya adalah kepala Negara, yang tercermin didalam UUD 45 telah mengalami perubahan yang sangat mendasar, hingga hal itulah yang menyebabkan terjadinya perubahan perubahan yang mendasar didalam mekanisme ketatangeraan dan Pemerintahan Negara Indonesia.
Perubahan perubahan Undang undang atau Amandemen tersebut menunjukkan bahwa Indonesia hendak mengarah pada sebuah Negara yang benar benar menjadi Negara yang demokrasi. Akan tetapi dengan melihat Kondisi internal Negara Indonesia, dimana Masyarakat Indonesia masih dalam sebuah proses Pembelajaran politik yang sebanarnya, sehingga pada hakekatnya Indonesia masih dalam tahap demokratisasi, dimana demokrasi yang masih tahap belajar, belum sepenuhnya.
Sehingga, amandemen undang undang 45 yang secara maksud dan isinya hendak mengarah pada ketatangeraan yang lebih demokrasi dan terbuka, akan tetapi pada Implementasinya tentu akan masih sangat sulit, masih belum dapat sepenuhnya terlaksana dengan stabil, Inilah yang saya maksud dengan demokratisasi. Untuk Implementasi sepenuhnya dengan Undang undang yang telah dilakukan seperti itu, Indonesia masih harus banyak belajar berkenaan dengan Politik yang baik, dimana seharusnya pendidikan politik yang baik tidak hanya bagi kalangan tertentu, tetapi hendaknya dilakukan secara menyeluruh ke semua elemen Negara.

SEJARAH KOMUNIS DI INDONESIA

Versi resmi pemerintah Hindia Belanda dan juga Pemerintah Indonesai saat ini menyebut bahwa Revolusi 1926 atau Pemberontakan tahun 1926 adalah pemberontakan komunis. Sebelum kita membahas lebih jauh tentang pemberontakan ini perlu dijelaskan kehadiran komunisme di Indonesia dan kaitan dengan revolusi tersebut ( sejarah lahirnya komunis sampai melakukan pemberontakan tersebut )
  1. 1. Kondisi di Indonesia secara Umum
  2. 2. Masuknya Komunis di Indonesia
  3. 3. Perkembangan Komunis di Banten & sumatera ( tempat terjadinya pemberontakan 1926 atau yang lebih dikenal dengan Revolusi 1926 )

Kondisi Di Indonesia
Kaum petani menderita akibat penjajahan Belanda dalam banyak segi, yang pertama dan paling berat adalah mereka menedita akibat diterapkannya bentuk perpajakan. Ironisnya, beban pajak menjadi lebih berat pada zaman diterapkannya kebijakan “etis” (liberal), yang diadopsi oleh administrasi kolonial pada pergantian abad ke-20, ketika dibangun infrastruktur yang dibiayi pajak. Kebijakan tanam paksa yang mengharuskan petani menanam tanaman keras merupakan beban lain yang ditanggung petani dan memusnahkan kebebasan petani (kebijakan ini kemudian dihapuskan). Sewaktu itu petani terpaksa menjadikan sepertiga sampai setengah tanah mereka tersedia untuk dipakai perkebunan gula. Karena dipaksa bayar pajak, makin banyak tanah dipakai, dan petani makin terpuruk dalam kemiskinan dan makin tergantung pada sistem kapitalis.
Borjuasi kecil pribumi di perkotaan sangat lemah, sebagian besarnya pedagang (banyak keturunan Tionghoa), dan bagian kecil pegawai. Tanpa industri yang berkembang, kaum buruh kecil sekali. Buruh terpusat di sektor pemerintahan dan transportasi yang dimiliki oleh swasta, yaitu kereta api dan trem.
Dengan tidak adanya oposisi politik yang berarti sebelum perang dunia pertama, kekuasaan Belanda sempat bertindak agak liberal, tetapi bersifat paternalistik, meskipun kebebasan pers dan berorganisasi senantiasa tidak mutlak. Ketika perjuangan mulai timbul di kaum petani, buruh dan kelas menengah, segala kebebasan ini langsung dicabut.
Kemelaratan dan represi politik, hanya dibungkus oleh tabir toleransi liberal yang tipis, merupakan ciri utama rakyat Indonesia pada tahun-tahun awal abad ini. Hampir seluruh rakyat buta huruf, dan berbagai penyakit tersebar luas mayoritas rakyat berada di bawah pengaruh kuat agama (Islam) dan kebudayaan tradisionil. Feodalisme yang ada sebelum penjajahan diidolakan. Bersamaan dengan itu kapitalisme dan pengalaman pejuangan kelas mulai merubah sikap kaum muda, dan khususnya kaum buruh. [1]
Pendidikan modern mengajarkan kelas menengah untuk mempersoalkan kekuasaan Belanda Tetapi untuk merekrut anggota sebanyak mungkin ke dalam suatu organisasi ternyata relatif tidak semudah yang diperkirakan. Walaupun minimal secara teori memihak jelata, tetapi bagaimanapun juga komunisme masih terkesan asing karena berasal dari Barat, tepatnya oleh dua orang Jerman yaitu Karl Marx dan Friedrich Engels. Ini mungkin sulit dicerna oleh bangsa Indonesia yang berbangsa dan bernorma Timur, minimal pada saat itu.
Indonesia adalah negara agraris. Jauh sebelum bangsa ini merdeka, sumber daya pertanian selalu menjadi komoditas utama. Oleh karena itu, tidak bisa dipungkiri apabila dikatakan bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia adalah petani.[2]Mengenai klasifikasi sosial petani, menurut keadaan pertanian di Jawa dapat dibedakan menjadi beberapa kelas sosial, yakni Petani Kaya, Petani Sedang, Petani Miskin, dan Buruh Tani[3].  Laporan Dr. J. W. Meyer Rannet tahun 1925 tentang kemakmuran rakyat yang diambil dari penyelidikan di sejumlah daerah di Jawa, melihat petani berdasarkan penghasilan penduduk menurut pembagian golongan pekerjaan. Data itu melaporkan bahwa golongan petani tak bertanah berjumlah 37,8% dari seluruh penduduk. Dan bila dijumlahkan dengan penduduk miskin, maka jumlahnya menjadi 65% dari seluruh penduduk desa.
Perjuangan di Indonesia pada waktu itu lebih banyak melalui pendekatan politik, banyak berdiri organsiasi – organisasi kepemudaan yang memperjuangkan nasib rakyat melalui politik, seperti Budi Utomo, Sarekat Islam dsb. Banyak organisasi islam dan nasionalis. Pemimpin yang terkenal pada waktu itu adalah pemimpin nasionalis. Tetapi walaupun banyak organisasi yang berdiri ternyata tidak banyak memberikan kontribusi yang bersifat langsung terhadap kondisi rakyat pada saat itu. Nasib rakyat tidak kunjung berubah.

Masuknya KOmunis ke Indonesia
  • Berdirinya ISDV (Indische Sociaal Democratische Vereeniging)
Faham komunis masuk ke Indonesia oleh HFJ Sneevliet (1883-1942) tahun 1913[4]. Sebagaimana di negeri-negeri lain, yang tertarik pada faham komunis umumnya adalah kaum jelata karena memang faham ini konon untuk membela kaum jelata dan menjadikan kaum elit sebagai musuh. Adapun basis pendukungnya adalah buruh dan tani. Di Indonesia, jelas faham komunis mendapat lahan yang subur. Tatanan kolonial menjadikan bangsa Indonesia sengsara di negeri sendiri, selain miskin juga tertindas. Sneevliet membentuk organisasi bernama ISDV (Indische Sociaal Democratische Vereeniging) tahun 1914.[5]
Atas prakarsa Sneevliet pada tahun 1914 didirikan Persatuan Sosial Demokrat Indonesia (ISDV), yang pada awalnya terdiri dari 85 anggota dua partai sosialis Belanda (Partai Buruh Sosial Demokrat yang berbasis massa di bawah kepemimpinan reformis, dan Partai Sosial Demokrat yang merupakan cikal bakal Partai Komunis, terbentuk setelah perpecahan politik dengan SDAP di tahun 1909)
Sejak mulanya tendensi revolusioner mengendalikan ISDV, sikapnya militan terhadap isu-isu lokal (misalnya, kampanye mendukung seorang jurnalis Indonesia yang diadili karena melanggar hukum pengendalian pers, dan juga mengadakan rapat umum menentang persiapan perang yang dilakukan oleh pemerintah Belanda) dan selain itu ISDV juga melibatkan diri dalam pergerakan nasional. Pada tahap itu orang Eropa anggota ISDV Belanda boleh masuk Insulinde sebagai anggota individual. Pimpinan Insulinde dan Sarekat Islam bersifat kelas menengah, tetapi senang dan bersyukur menerima bantuan dari ISDV, dan hanya kaum sosialis siap membantu pada saat itu.
Namun demikian, tak terelakkan konflik mulai timbul antara kepemimpinan ISDV dan Insulinde, dan juga di dalam ISDV sendiri. ISDV menegaskan bahwa pejuangan melawan penjajahan Belanda harus didukung kaum sosialis, dan menyatakan bahwa hal ini mencakup perjuangan melawan sistem kaptialis. Pimpinan kelas menegah Insulinde (seperti para pemimpin SI kemudian) secara naluriah menolak dengan keras pikiran itu, dan mengedepankan “teori dua tahapan”. Dalam ISDV sendiri aliran refomis meninggalkan partai itu di tahun 1916 dan mendirikan Partai Sosial Demokrat Indonesia (ISDP), yang dalam waktu singkat langsung dekat dengan pemimpin kelas menengah nasionalis. Di sisi lain, ISDV makin digemari dan dihormati kaum militan Indonesia karena berani dan berprinsip dalam hal politik lokal. Walaupun diserang para pemimpin nasionalis karena banyak yang berketurunan Belanda, hal ini tidak merupakan rintangan dalam perjuangan membangun organisasi revolusioner, dan merebut dukungan massal.
Banyak masalah sulit yang dihadapi oleh ISDV di periode awal bangkitnya gerakan politik massa ini. Pada 1915-18 penguasa Belanda menanggapi gerakan massa yang tumbuh dengan mendirikan semacam “Volksraad” yang bertujuan membendung militansi massa. ISDV – berlawanan dengan pimpinan nasionalis dan ISDP – pada mulanya memboikot badan ini, tetapi kemudian membatalkan keputusan itu ketika mulai jelas bahwa Volksraad itu dapat dimanfaatkan sebagai medan propaganda revolusioner.
Sneevliet juga memegang peran penting dalam Serikat Staf Kereta Api dan Trem (VSTP), pada saat itu kecil saja, dan sebagian besar anggotanya berkulit putih. Sneevliet mengarahkan VSTP kepada bagian besar buruh yang pribumi, dan pada saat bersamaan berusaha menguatkan struktur organisasinya dengan menegaskan pentingnya pengurusan cabang cabang yang baik, juga konperensi tahunan, penarikan sumbangan anggota, dsb. Dalam jangka waktu singkat anggota serikat ini menjadi dua kali lipat, dan sebagian besar pribumi. Kesuksesan VSTP meraih hormat bagi gerakan sosialis, dan memungkinkan Sneevliet merekrut para aktivis buruh ke dalam ISDV. Yang terpenting di antaranya adalah Semaun, seorang pemuda buruh perusahaan kereta api yang pada tahun 1916 (saat berusia 17 tahun), menjadi kepala Serikat Islam di Semarang, dan di kemudian hari menjadi tokoh penting dalam PKI.
Liberalisme Belanda tidak mendorong perjuangan buruh. Pemogokan dibalas dengan PHK massal, pembuangan para aktivis ke pulau-pulau terpencil, dan tindakan apa saja yang perlu untuk menghancurkan gerakan buruh. Dalam periode itu jarang sekali pemogokan buruh menemui kesuksesan, dan tidak mungkin berhasil memengaruhi perjuangan luas. Dilawan oleh majikan yang kuat, terbatas kemungkinan memajukan kondisi kaum buruh lewat perundingan.
Meskipun demikian gerakan serikat buruh bertahan dan berkembang. Kenyataan ini hanya bisa diterangkan dengan kekuatan dan daya tahan kaum buruh, dengan tumbuhnya jumlah dan pengalaman kaum buruh, dan di pihak lain, diterangkan oleh kenyataan bahwa perjuangan serikat buruh] tidak dapat dipisahkan dari perjuangan yang lebih luas yang dilakukan oleh rakyat Indonesia dalam melawan penindasan dan penghisapan pemerintah Belanda.
Sebagian besar kaum petani tetap mengikuti adat dan agama, kelihatannya pasif kalau ditindas, petani pada waktu itu pandangannya terbatas oleh kepentingan dan masalah kehidupan desa, tidak dapat diharapkan menunjang program sosialis dengan pemikiran yang termaju. Kaum petani hanya bisa memihak segi program sosialis yang merefleksikan kepentingan kaum tani sendiri, dan memihak perjuangan militan yang membantu tuntutan itu. Namun dukungan seperti itu juga biasanya sporadis, ekspolsif, dan tidak lengkap, selaras dengan karakter kaum tani sendiri – yaitu suatu kelas yang heterogen, produsen kecil yang terisolir, dan yang menurut kepentingan sendiri. Oleh karena itu kaum petani mungkin memihak kaum buruh, tetapi juga mungkin memihak demagogi kaum nasionalis, mistik agama atau aliran lain yang menawarkan pemecahan segera bagi persoalan kongkrit yang mereka hadapi.
Faktor lain yang penting di Indonesia, sebagaimana juga hal ini terjadi di dunia kolonial secara umum, ialah kelas menengah yang berpendidikan dan berharta milik – meskipun kecil, mereka ini adalah kekuatan yang signifikan. Kelas menengah juga sulit memihak program kaum buruh karena hanya bergerak di bidang politik untuk menahan kepentingan sendiri kepentingan borjuis, meskipun bertentangan dengan imperialism. Perjuangan bersama mungkin dilakukan antara kelas buruh dan kelas menengah hanya karena keduanya menghadapi musuh imperialisme, tetapi tujuan fundamenatal dan metode kelas menengah berbeda dengan tujuan dan metode kelas buruh. Kelas menengah, atau bagian-bagian darinya, dapat meninggalkan pemikiran bersifat utopis dan dan program reaksioner mereka hanya sebab mereka akhirnya mulai insaf bahwa tidak ada pilihan lain yang praktis, namun kemungkinan ini akan lama prosesnya serta sangat kontradiktif dengan kelas menengah sendiri. Mulanya kelas menengah akan berkembang secara terpisah dari gerakan kelas buruh dan, karena menyuarakan keluhan semua lapisan yang tertindas, mereka bisa memperoleh dukungan massal. Karena berpendidikan dan agak makmur, mereka agak jauh dari kehidupan orang biasa, tetapi oleh karena itu pula mereka makin yakin dan pandai, dan makin berwibawa di mata kaum petani dan sebagian kaum buruh yang terbelakang.
Walaupun makin berpengaruh, ISDV – seperti PKI kemudian – tetap merupakan organisasi kecil. Jumlah anggota ISDV naik dari 103 tahun 1915 (dengan hanya tiga anggota pribumi) menjadi 330 di tahun tahun 1919 (300 pribumi). Dalam arti ini ISDV menjadi partai kader – partai para aktivis dan pemimpin yang kuat dukungan di serikat buruh, di perkotaan, dan juga pedesaan. Orientasi kelas ISDV paling jelas terrefleksi dalam kedudukannya yang kuat di dalam gerakan serikat buruh. Ferderasi pertama serikat buruh, didirikan pada tahun 1919, terdiri dari 22 serikat, dan anggotanya berjumlah 72,000, dan sebagian menurut ISDV, dan bagian lain memihak pimpinan nasional SI. Sesudah berberapa tahun kontrol pimpinan SI yang kurang cakap mengalami perpecahan, kecuali di berberapa serikat pegawai (pekerja kerah putih).
Kewibawaan ISDV dicerminkan juga dengan dukungan massa terhadapnya di dalam tubuh SI sendiri. Dengan mengingat populasi Indonesia, jumlah penganut itu merupakan langkah awalan saja yang secara praktis perlu dikonsolidasikan sebagai simpul di setiap daerah yang kemudian menjadi dasar gerakan nasional yang didukung oleh jutaan orang, dengan intinya kader Marxis. Jika kondisi begini sudah tercapai barulah mungkin menempatkan ikhwal perebutan kekuasaan ke dalam agenda partai.
Dalam pengertian perspektif dan teoris, di satu sisi, sebagai organisasi kader ISDV amat lemah. Pengusiran Sneevliet dari Indonesia pada tahun 1918 meninggalkan jurang tak terjembatani di pucuk pimpinan organisasi itu. Tidak ada pemimpin, baik keturunan Belanda maupun pribumi, walaupun trampil sebagai pejuang revolusioner, memiliki pengalaman dan pemandangan marxis yang cukup luas untuk mengemudikan partai secara tepat saat menghadapi tikungan yang tajam dan mendadak.
Potensi revolusioner ISDV yang gemilang pada era itu ditunjukkan tahun 1917-18, saat partai itu segera mendukung Revolusi Rusia dan dengan cepat menarik implikasi revolusi itu bagi revolusi di negara Eropa dan Indonesia sendiri. Belajar dari pengalaman Rusia, ISDV mulai mengorganisir serdadu dan pelaut di Indonesia, dan dengan usaha itu berhasil menarik pengikut sekitar 3,000 orang di angkatan bersenjata Belanda.
Pada akhir tahun 1918, saat Belanda di ambang revolusi, pemerintah kolonial bingung karena kelihatannya mungkin ada perebutan kekuasaan revolusioner di Belanda, dan mungkin sesudahnya di Indonesia juga. Pada saat itu sosial demokrat Belanda kehilangan keberaniannya. Pemerintah kolonial menjanjikan berberapa perbaikan situasi, dan situasi revolusioner reda.
Situasi di Indonesia pada tahun 1918-19 penuh gejolak, karena kisis ekonomi menghantam para pekerja dan timbulkan perlawanan dengan kekerasan di kalangan kaum tani. Kejadian ini melatarbelakangi pertumbuhan ISDV/PKI secara massal, dan juga menyebabkan reaksi dari segi pemerintah.

  • Memecah SI
Indonesia adalah Negara yang penduduknya mayoritas beragama islam. Corak agamis dan anti kolonial jelas menjadi daya tarik kuat bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam organisasi yang beraliran islam. Salah satu organisasi islam yang besar adalah Sarekat Islam. Di bawah pimpinan sosok kharismatis H. ‘Umar Said Tjokroaminoto (1882-1934) organisasi SI kian berbobot. Tokoh ini sudah pernah berurusan dengan aparat hukum kolonial karena faham anti kolonial yang jelas. Pada masa itu berurusan dengan aparat dalam arti melawan penguasa dapat menaikkan martabat dalam pandangan rakyat. Tentu saja juga memiliki resiko besar, termasuk nyawa taruhannya.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, kaum komunis menempuh cara licik. Pendekatan Sneevliet dilakukannya melaui pimpinan SI Semarang yakni Semaun dan Darsono Mereka tidak merasa perlu bersusah payah meraih pengikut dari warga yang belum menjadi anggota suatu partai, tetapi mencoba menyusup masuk Sarekat Islam dan menggembosinya. Dan hasilnya memuaskan, banyak  anggota SI yang terpengaruh. Dengan bantuan Semaoen –tokoh SI yang kelak menjadi tokoh senior PKI– organisasi SI pecah menjadi SI Putih dan SI Merah sebagai akibat pembelotan para anggotanya. Tjokroaminoto bersikap tegas dengan kebijakan larangan beranggota ganda. Melalui pengaruhnya dalam SI dan serikat-serikat buruh, ISDV mengalami perkembangan yang cukup pesat. Perkembangan ISDV juga disebabkan infiltrasi ke dalam tubuh SI yang dianjurkan oleh Sneevliet kepada pengikutnya untuk merangkap sebagai anggota SI. Bahkan pada tanggal 25 Desember 1919 tercapai persetujuan dengan SI yang menghasilkan pembentukan ”Persatuan Pergerakan Kaum Buruh yang meliputi  22 Serikat Buruh dengan 72.000 anggota yang sebagian besar terdiri dari buruh Central Serikat Islam (CSI) Semarang Sebelum munculnya Serikat Islam juga sudah banyak terbentuk serikat-serikat buruh yang menjadi wadah perkumpulan dan konsolidasi kepentingan mereka.
  • Bergolaknya Internal ISDV menentang Pengembosan terhadap SI dan menggunakan pendekatan thd islam untuk menarik massa
Bagi SI, penggembosan tersebut merupakan pukulan berat. Anggotanya berkurang drastis. Namun penggembosan itu juga mendapat tantangan dari intern PKI sendiri. Ibrahim Tan Malaka (1897-1949), aktivis kemerdekaan asal Minangkabau adalah penentang penggembosan. Dia pernah belajar di Eropa sekaligus aktif dalam gerakan kemerdekaan. Kritik pada pemerintah Belanda ketika berada di Belanda menyebabkan dia berurusan dengan aparat. Proses hukum yang dijalani menaikkan martabatnya.
Tan Malaka pernah dicalonkan sebagai anggota parlemen oleh Partai Komunis Belanda, tidak jelas apakah terlaksana. Pada awalnya dia terkesan oleh kemajuan teknologi di negara kapitalis Amerika Serikat dan Jerman. Tetapi sukses Revolusi Bolshevik yang membawa kaum komunis berkuasa di Rusia berakibat dia condong pada komunisme.
Tetapi juga perlu diketahui, diantara sekian banyak tokoh PKI, Tan Malaka yang paling moderat. Dia tidak menerima begitu saja semua doktrin komunis. Praktek komunisme harus disesuaikan dengan keadaan di Indonesia, jangan dibiasakan menjiplak begitu saja pengaruh dari luar. Tan Malaka misalnya tidak setuju dengan faham atheis, doktrin “agama adalah candu” tidak masuk akal baginya.
Tan Malaka pernah menentang pendapat Komintern (Komunis Internasional) yang menyatakan bahwa gerakan Pan Islam adalah bentuk baru imperialisme. Tan Malaka menegaskan bahwa Pan Islam juga anti imperialisme. Tan Malaka mengingatkan komunis untuk mengakui fakta bahwa mayoritas rakyat Indonesia adalah Muslim yang jelas memiliki potensi melawan imperialisme. Maka, yang harus dilaksanakan komunis adalah merangkul kekuatan agamis, bukan memusuhi. Jelas, bahwa menggembosi SI dapat melemahkan perjuangan anti imperialisme. Usulannya gagal diterima. Kegagalan lainnya adalah mencegah PKI ikut perlawanan militer yang kita kenal dengan Revolusi 1926 karena dia menilai PKI masih lemah
Tragisnya, ketika revolusi tersebut gagal Tan Malaka dipersalahkan oleh PKI sebagai penyebab kegagalan. Merasa tidak cocok dengan PKI dia memilih keluar dan membentuk PARI (Partai Republik Indonesia) (1927) dan pada zaman Revolusi 1945 membentuk Partai Murba. Kelak Partai Murba menjadi lawan tangguh PKI.
Setelah mendapat pengikut dari penggembosan SI, PKI semakin giat menambah pengikut dan melaksanakan program. Berbagai pemogokan dan kerusuhan terjadi. PKI meraih banyak pengikut dari pegawai kereta api, mereka membentuk organisasi bawahan (onderbouw) khusus untuk pegawai kereta api. Organisasi bawahan lain juga dibentuk sesuai profesi semisal buruh perkebunan, tani dan sebagainya.
Rezim kolonial menyaksikan ini dengan cemas, tindakan tegas dilaksanakan. Banyak orarng-orang komunis yang ditangkap, rapat dan demonstrasi dibubarkan serta berbagai dokumen di sita atau dimusnahkan. Namun kegiatan PKI belum berhenti dan cenderung semakin garang. Aktivis kemerdekaan lain juga terkena dampaknya.
Keberanian tersebut relatif cepat mendapat simpati rakyat yang memang muak dengan rezim kolonial. Mereka kurang peduli dengan latar belakang PKI sesungguhnya, yang dibutuhkan rakyat adalah pembangkit keberanian melawan. Sesungguhnya bukan PKI yang pertama dituduh terlibat pemberontakan, SI pernah dituduh terlibat hal itu dan beberapa tokohnya sempat ditangkap. Mungkin PKI berusaha meniru SI untuk mendapat simpati sebanyak mungkin.
Di antara yang simpati adalah kelompok agamis dan inilah yang diharapkan PKI ketimbang kelompok nasionalis. Para ulama memiliki pengaruh yang tak dapat diremehkan di tengah masyarakat yang masih menempatkan agama atau perkara ruhani sebagai hal sangat penting dalam hidup dan mati.
Supaya makin berbobot di tengah masyarakat bercorak demikian, sadar tidak sadar PKI menempuh cara yang diusulkan Tan Malaka, bahwa kelompok agamis memiliki potensi besar melawan kolonial sehingga perlu dirangkul. Maka, para propagandis menyebar ke berbagai pelosok mendekati para ulama. Dengan lihai mereka menjelaskan persamaan nilai-nilai agamis dengan komunis, antara lain faham sosialisnya. Para propagandis menjelaskan bahwa agamis dan komunis sama-sama memihak kaum jelata, hanya istilahnya yang berbeda. Komunis memiliki istilah proletar dan agamis memiliki istilah dhuafa. Bahkan di Banten, PKI menampilkan gaya yang aneh, fanatik dengan agama. Sikap aneh tersebut juga ditampilkan di wilayah Surakarta oleh H. Misbakh, dia menyebarkan konsep “Komunisme Islam” dan sempat menggerakkan kerusuhan.
  • Berganti nama Menjadi Partai Komunis Indonesia
Perkembangan ISDV berlanjut dengan pergantian nama menjadi Perserikatan Komunis Indonesia pada tanggal 23 Mei 1920. Dalam pertemuan tanggal 23 Mei itu juga memilih Semaun sebagai Ketua dan Darsono sebagai Wakil Ketua. Selain Semaoen, ada 2 tokoh SI bergabung dengan PKI yang juga menonjol yaitu Alimin Prawirodirdjo (1889-1964) dan Moeso (1897-1948). Kemudian atas usul Moskow, nama Perserikatan diubah menjadi Partai. Tahun 1924 nama Perserikatan Komunis Indonesia berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia.  Melihat perkembangan kaum komunis yang sedemikian pesat dan dianggap membahayakan, pimpinan Serikat Islam yang bukan komunis seperti Agoes Salim dan Abdul Moeis mengusulkan diterapkannya disiplin keanggotaan rangkap untuk membendung pengaruh komunis. Pertentangan di dalam tubuh SI melahirkan perpecahan dengan dibentuknya Serikat Islam Merah oleh kaum komunis pada tahun 1923. Selanjutnya SI Merah berubah nama menjadi Serikat Rakyat. Pada perkembangan awal, PKI telah berusaha bergerak di kalangan petani. Hal itu didasarkan kepada keputusan konferensi Kota Gede (Yogyakarta) pada bulan Desember 1923 yang menghendaki agar Serikat Rakyat dipergunakan untuk melakukan hal tersebut. Walaupun sebenarnya hal ini merupakan penegasan atas anjuran Lenin kepada Bangsa-bangsa Timur yang disampaikannya pada bulan November 1919:
”… Di hadapanmu terletak suatu tugas yang tidak pernah dihadapi oleh komunis di seluruh dunia…, kamu harus menyesuaikan dirimu dengan keadaan-keadaan istimewa yang tidak terdapat di negeri-negeri Eropa dan hendaknya dapat mengenakan teori dan praktek pada keadaan-keadaan di mana massa pokok adalah petani..”[6]
Apabila kita sedikit mengamati, PKI yang pada awalnya lebih memfokuskan gerakan dengan menggarap kaum buruh sebagai basis gerakannya justru mengalihkan fokus gerakan dengan menggarap kaum petani, terutama setelah dibentuknya Serikat Rakyat. Gerakan protes terhadap pemerintah kolonial yang dilakukan serikat-serikat buruh yang disponsorori oleh PKI dianggap lebih membahayakan oleh pemerintah kolonial dibandingkan gerakan yang digalang oleh Serikat Islam. Hal itu bukan didasarkan oleh bentuk gerakan yang mereka lakukan, tetapi karena melihat tujuan politik PKI yang lebih luas. Namun, pemimpin PKI menganggap bahwa gerakan dengan menggunakan serikat-serikat buruh sebagai kendaraan politik memiliki beberapa kelemahan terutama mengenai karakter buruh sebagai masyarakat yang dapat langsung berhubungan dengan pengaruh luar sehingga dapat membuat kegoncangan. Selain itu, alasan utama lainnya adalah perbedaan kesadaran sosial dan politik antara kaum buruh di Eropa dengan di Indonesia.Oleh karena itulah PKI lebih condong untuk mengutamakan kaum petani sebagai basis kekuatan politiknya. PKI lebih melihat petani sebagai lapisan masyarakat yang tidak langsung berhubungan dengan pengaruh dari luar, tetapi mereka mengetahuinya dari pemimpinya masing-masing.
PKI Cabang Banten
Sejak awal berdiri ISDV tidak pernah membuka cabang di Banten, meskipun dua orang anggota eksekutifnya yakni Hasan Djajdiningrat dan J. C. Stam tinggal di sana. Awal mula kemunculan PKI di Banten, tidak dapat dilepaskan dari peran yang dimainkan oleh R. Oesadiningrat, seorang karyawan Stasiun Kereta Api Tanah Abang yang dipecat oleh otoritas kolonial yang kemudian aktif di Sarekat Buruh Kereta Api (VSTP) sebagai pengurus harian penuh. Dalam kedudukannya sebagai pengurus VSTP, Oesadiningrat kemudian menggelar rapat akbar sebanyak tiga kali yang dihadiri oleh tokoh PKI terkemuka. Pada bulan Agustus 1924, ia kembali menggelar rapat akbar di Pandeglang dengan tujuan hendak mendirikan Sarekat Rakyat.
Pertumbuhan PKI di Banten terjadi begitu cepat karena pada tahun 1924 baru ada dua orang anggota PKI yang tinggal di Banten. Dalam jangka waktu dua belas bulan, anggota PKI di Banten berjumlah ribuan orang dan terus bertambah pada tahun 1926. Pertambahan anggota PKI yang begitu pesat disebabkan sejak tahun 1925, perantau dari Banten semakin banyak yang kembali ke kampong halamannya dan di antara mereka telah ada yang menjadi anggota PKI.
Beberapa perantau ini berkedudukan sebagai agen propaganda untuk mendirikan cabang PKI di Banten. Salah seorang di antara mereka adalah Tubagus Alipan yang diminta oleh Darsono untuk mendirikan PKI Cabang Banten. Bersama-sama dengan Puradisastra, Tb. Alipan kemudian melakukan upaya untuk mendirikan PKI Cabang Banten. Kedua orang agen propaganda PKI ini kemudian dibantu oleh Achmad Bassaif yang fasih berbahasa Arab. Mereka bertiga kemudian menjadikan Islam sebagai senjata propagandanya. Dalam propagandanya itu, pengertian komunis ditekankan sebagai usaha menentang Belanda dan dipersamakan dengan perang sabil. Hal tersebut kemudian dipertegas oleh Alimin dan Musso yang datang ke Pandeglang sekitar tahun 1925. Di hadapan massa, kedua tokoh PKI ini menguraikan secara panjang lebar soal-soal perjuangan bangsa menghadapi penjajahan Belanda. Dengan demikian, dalam usahanya mendapatkan dukungan dari rakyat Banten, para proganda PKI menghilangkan pengertian komunisme, tetapi kemudian lebih mengedepankan persamaan perjuangan antara Islam dan PKI. Oleh karena itu, para ulama Banten tidak menentang kehadiran PKI di Banten bahkan di antara para ulama itu kemudian ada yang menjadi pengurus PKI Cabang Banten. Selain mendapat dukungan dari para ulama, para petani di Banten pun mendukung terhadap gerakan PKI karena tertarik terhadap janji-janji PKI. PKI menjanjikan kepada para petani bahwa partainya akan membebaskan petani dari pajak kepal/perorangan (hoofdgeld). Pajak inilah yang membuat resah petani sehingga suatu saat akan meledak menjadi sebuah perlawan jika ada yang mampu menggerakkannya. PKI mampu membaca situasi itu sehingga mendapat dukungan penuh dari para petani Banten.
Awalnya, aktivitas PKI dipusatkan di Kabupaten Serang. Akan tetapi, sejak bulan Maret 1926, aktivitas mereka dengan cepat menyebar sampai ke wilayah Rangkasbitung, Kabupaten Lebak. Aktivitas itu kemudian tidak hanya sekedar menggelar rapat politik, tetapi juga telah bergeser ke arah tindakan kriminal. Oleh karena itu, tidaklah heran kalau situasi pada waktu itu digambarkan penuh dengan kegelisahan. Tidak jarang para anggota PKI ini melakukan tindakan-tindakan anarkis seperti penganiayaan, pemboikatan, pengrusakkan, dan lain-lain. Setelah merasa mendapat dukungan dari masyarakat Banten, PKI kemudian mulai merencanakan pemberontakan. Langkah awal yang diambil adalah mendirikan Dubbel Organisatie (DO) sebuah organisasi rahasia dan illegal untuk mematangkan semangat revolusioner masyarakat Banten. Langkah berikutnya adalah melakukan reorganisasi setelah perginya Puradisastra dan Bassaif ke Batavia. Mereka berdua kemudian menjadi penguhubung PKI Pusat di Batavia dengan PKI Cabang Banten. Pada bulan Mei diselenggarakan rapat yang menghasilkan susunan baru PKI Cabang Banten di bawah kepemimpinan Ishak dan H. Mohammad Noer. Sementara itu, Hasanudin dan Soleiman diangkat sebagai pemimpin DO Banten. Adapun K. H. Achmad Chatib ditunjuk sebagai Presiden Agama PKI Seksi Banten. Setelah rapat itu, semangat revolusioner semakin dan PKI Seksi Banten telah menyatakan kesiapannya untuk melancarkan pemberontakan. Dengan semakin meningkatnya aktivitas PKI Banten, antara bulan Juli – September 1926, pemerintah Hindia Belanda melakukan penangkapan dan penahanan terhadap beberapa pemimpin PKI Banten.
Di Rangkasbitung, empat orang tokoh utama PKI, yakni Tjondroseputro, Atjim, Salihun, dan Thu Tong Hin ditahan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada akhir bulan September 1926. Penahanan ini mengakibatkan pimpinan PKI berada di bawah tangan para ulama dan jawara. Golongan inilah yang kemudian memimpin para petani melancarkan pemberontakan pada bulan November 1926. Target utama pemberontakan ini adalah kaum priyayi dan dipilih secara selektif. Mereka yang akan dibunuh adalah kaum priyayi bukan asli Banten dan suka melakukan kekerasan kepada rakyat. Selain itu, yang menjadi sasaran adalah mereka yang telah dianggap mencemari nama baik Banten. Sementara orang Cina tidak menjadi sasaran karena ada indikasi keterlibatan secara tidak langsung dalam pemberontakan tersebut. Sebagian masyarakat Cina di Labuan dan Menes telah menjual senjata dan amunisi kepada kaum pemberontak. Selain itu, ada juga orang Cina yang telah menjadi pemimpin terkemuka PKI Banten, salah satunya adalah Tju Tong Hin yang bergabung dengan PKI Rangkasbitung.

Perkembangan PKI di Sumatera
1. Masuknya Komunisme Di Sumatera Barat
Dalam situasi Sumatera Barat yang pehuh pertentangan, Haji Datuk Batuah  membawa dan, menyebarkan paham komunis diaerah tersebut. Pada tahun 1923 ia menanamkan ajaran komunis di kalangan pelajar-pelajar dan guru-guru muda Sumatera  Thawalib Padang Panjang. Sumatera Thawalib adalah suatu lembaga pendidikan yang  dimiliki oleh kalangan pembaharu Islam di Sumatera Barat, dimana haji Batuah  merupakan salah seorang pengajarnya.
Berawal dari Sumatera Thawalib Padang Panjang, paham komunis akhirnya  menyebar ke berbagai daerah Sumatera Barat dibawa oleh para lulusan sekolah tersebut  ke daerah asalnya. Penyebaran ini terutama dilakukan di kalangan petani. Oleh masyarakat setempat ajaran komunis ini disebut “ilmu kominih” (Schrieke, 1960: 155).  Ilmu ini menggabungkan ajaran Islam dengan ide anti penjajahan Belanda, anti  imperialisme-anti kapitalisme dan ajaran Marxis.
Pada akhir tahun 1923 Datuk Batuah, bersama-sama dengan Nazar Zaenuddin  mendirikan pusat Komunikasi Islam di Padang panjang. Dalam waktu yang hampir  bersamaan Datuk Batuah menerbitkan harian “Pemandangan Islam” dan dan Nazar  Zaenuddin menerbitkan “Djago-Djago”. Lembaga Pusat Komunikasi Islam dan kedua  harian tersebut digunakan sebagai media penyiaran paham komunis.
2. Usaha-usaha Perluasan
Pada pagi 11 Nopember 1923 Datuk Batuah dan Nazar Zaenuddin ditangkap pemerintah kolonial Belanda. Segera setelah itu pusat propaganda komunis berpindah ke Padang ( Schreike, 1960: 60).  Pucuk kepemimpinan PKI Sumatera Barat kemudian di ambil alih oleh Sutan Said  Ali. Pada waktu itu kegiatan orang-orang komunis di seluruh nusantara menunjukkan  peningkatan yang pesat. Hal ini karena pada akhir tahun 1923 Darsono, seorang tokoh,  komunis kembali di Hindia Belanda dari Moskow atas perintah komintern untuk  mendampingi Semaun, Alimin dan Muso.  Suatu hal yang menyebabkan pesatnya perkembangan komunis di Sumatera Barat  adalah dileburnya Sarekat Rakyat Sumatera Barat ke dalam PKI. Sarekat Rakyat ini  semula bernama Sarekat Islam Merah, suatu organisasi pecahan Sarekat Islam yang  berorientesi kepada paham komunis, dimana di Sumetera Barat mempunyai anggota yang  cukup banyak (Kahin, 1952: 70).
Dengan dileburnya Sarekat Rakyat ke dalam PKI, maka jumlah anggota inti PKI Sumatera Barat meningkat berlipat ganda. Jika pada tanggal 1 Juni 1924 semua anggota  inti PKI Sumatera Barat tercatat hanya berjumlah 158 Orang, maka pada tanggal 31  Desember 1924 telah menjadi 600 orang, tiga bulan kemudian menjadi 884 orang.  Daerah-daearah yang tercatat sebagai basis PKI adalah: Kota Lawas, pariaman, Sawah  Lunto, Tikalah, padang dan Silungkang.
  1. 3. Resolusi prambanan 1925
Mulai tahun 1925 tampaknya PKI telah jatuh ke tangan orang-orang yang  berdarah panas. PKI mulai menghubungkan diri dengan orang-orang yang dipandang  rendeh dalam masyarakat dan kumpulan teroris yang selalu dijumpai di pinggiran  masyarakat Indonesia waktu itu (Arnold C. Bracham, 1970 : 22).
Sementara itu Hoskow memproses arah yang ditempuh oleh PKI, tetapi tidak  berhasil (Ruth T.McVey,1965 : 158). Bahkan pada bulan Juni 1925, Alimin secara  terbuka menganjurkan suatu revolusi. Semenjak itu rupanya pengawasan partai berada di tangan komunis sayap kiri.
Sejalan dengan itu, pada bulan Desember 1925 di prambanan, Yogyakarta  diadakan pertemuan partai yang dipimpin oleh Alimin. Pretemuan ini dihadiri oleh tokoh-  tokoh PKI, diantaranya Budi Sucipto, Aliarcham, Sugono, Surat Hardjo, Martojo, jatim, Sukirno, Suwarno, Kusno dan lain-lainnya. Sedang Said Ali, pemimpin PKI cabang  Sumatera Barat pada pertemuan ini hadir mewakili seluruh Sumatera ( H. J. Benda, dan Ruth T.MaVey, 1960: 115) Adapun hasil pokok dari pertemuan ini adalah bahwa PKI akan mengadakan  pemberontakan pada bulan Juli 1926, dengan terlebih dulu diawali dengan aksi-aksi  pemogokan yang akan diorganisir PKI.
Adapun hasil pokok dari pertemuan ini adalah bahwa PKI akan mengadakan  pemberontakan pada bulan Juli 1926, dengan terlebih dulu diawali dengan aksi-aksi  pemogokan yang akan diorganisir PKI.  Sehubungan dengan keputusan Prambanan tersebut pemimpin-pemimpin PKI Sumatera Barat menempuh langkah-langkah guna mempersiapkan pemberontakan, yang  meliputi :
a. Sejalan dangan Surat Edaran Komite Pusat PKI No.221 maka PKI cabang Sumatera
Barat berusaha mengumpulkan senjata. Surat Edaran tersebut berisi perintah kepada  cabang Padang supaya mengumpulkan uang derma yang dimaksudkan untuk membeli  persenjataan yang akan digunakan untuk melakukan aksi pemberontakan.

b. Mengadakan aksi-aksi ilegal.
Ini terutama dilakukan dalam bentuk membangun sel-sel PKI di derah-daerah pertanian dalam rangka memperkuat semangat perlawanan.  Dalam perkembangannya, organisasi-organisasi ilegal ini mempunyai pengaruh  cukup basar di Sumatera Barat, terutama Sarekat Jin yang bergerak di Padang dan  Pariaman (Ruth T.Mc Vey, 1965: 194 ).
c. Memperkuat propaganda di kalangan buruh-buruh tani yang bekerja di perkebunan-
perkebunan.

Tetapi gelagat akan terjadinya pemberontakan di Sumatera Barat, terlebih dulu tercium Pemerintah kolonial Belanda. Oleh karena itu, pemerintah kolonial Belanda  segera bertindak melakukan penangkapan-penangkapan terhadap pemimpin-pemimpin  PKI Sumatera Barat. Berturut-turut Said Ali, Idrus, Sarun, Yusup Gelar Radjo Kacik,  Datuk Bagindo Ratu dan Haji Baharuddin pada akhir tahun 1926, kemudian ditangkap  dan dijebloskan ke penjara dengan tuduhan hendak memberontak (Abdul Muluk Nasution, 1981: 91).
Sehubungan dengan keputusan Prambanan tersebut pemimpin-pemimpin PKI Sumatera Barat menempuh langkah-langkah guna mempersiapkan pemberontakan, yang  meliputi :
a. Sejalan dangan Surat Edaran Komite Pusat PKI No.221 maka PKI cabang Sumatera
Barat berusaha mengumpulkan senjata. Surat Edaran tersebut berisi perintah kepada  cabang Padang supaya mengumpulkan uang derma yang dimaksudkan untuk membeli  persenjataan yang akan digunakan untuk melakukan aksi pemberontakan.
b. Mengadakan aksi-aksi ilegal.
Ini terutama dilakukan dalam bentuk membangun sel- sel PKI di derah-daerah pertanian dalam rangka memperkuat semangat perlawanan.  Dalam perkembangannya, organisasi-organisasi ilegal ini mempunyai pengaruh  cukup basar di Sumatera Barat, terutama Sarekat Jin yang bergerak di Padang dan  Pariaman (Ruth T.Mc Vey, 1965: 194 ).
c. Memperkuat propaganda di kalangan buruh-buruh tani yang bekerja di perkebunan – perkebunan.
Tetapi gelagat akan terjadinya pemberontakan di Sumatera Barat, terlebih dulu tercium Pemerintah kolonial Belanda. Oleh karena itu, pemerintah kolonial Belanda  segera bertindak melakukan penangkapan-penangkapan terhadap pemimpin-pemimpin  PKI Sumatera Barat. Berturut-turut Said Ali, Idrus, Sarun, Yusup Gelar Radjo Kacik,  Datuk Bagindo Ratu dan Haji Baharuddin pada akhir tahun 1926, kemudian ditangkap  dan dijebloskan ke penjara dengan tuduhan hendak memberontak (Abdul Muluk  Nasution, 1981: 91).


Konstruk Organisasi Komunis
Analisa Sejarah Lahirnya Komunis di Indonesia
  1. Komunis lahir saat kondisi di Hindis Belanda ( Indonesia ) sedang mangalami ketertindasan akibat system yang diterapkan oleh Belanda à Belanda mencerminkan praktek Kapitalisme dan Feodalisme à Menindas kaum kecil seperti buruh dan petani
  2. Pada awalnya Komunis hendak menghancurkan belanda dan islam, tetapi melihat begitu besarnya rakyat yang beragama islam yang itu bisa dimanfaatkan sebagai massa pro komunis, akhirnya mereka juga menerapkan ide yang awalnya ditentang oleh mereka ( ide untuk tidak menghancurkan islam tapi justru memanfaatkannya dating dari Tan Malaka, ia menganggap dalam menerapkan teori komunis harus melihat konteks wilyah )
  3. Di awal – awal lahirnya, massa yang dibidik adalah buruh, tetapi seiring dengan berjalannya waktu mereka juga melihat bahwa petani bisa dijadikan basis massa yang lebih solid dari pada buruh, akhirnya mereka pun mengalihkan perhatiannya kepada kaum petani dan juga masyarakat islam.
  4. Faktor yang turut berpengaruh terhadap besarnya organisasi ini adalah apa yang mereka tawarkan kepada petani, buruh serta kamuflase nilai komunis yang disamakan dengan nilai islam. Hal ini karena kondisi saat itu benar – benar kondisi yang berat dan menekan kaum kecil seperti buruh dan petani. Dengan propaganda mereka yang dianggap pro rakyat kecil, mereka pun mendapatkan simpati yang cukup besar.



sumber : http://rizkian.wordpress.com/2011/03/06/sejarah-komunis-di-indonesia/
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Ecc4 BloG - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger