Undang undang Dasar Negara republic
Indonesia 1945 merupakan dasar Negara republic Indonesia, dimana Undang
undang ini merupakan supremasi hukum tertinggi. Sehingga Kestabilan
Negara dan kesejahteraan rakyat Indonesia sangat bergantung pada
peraturan undang undang yang menata dan mengatur mekanisme system
kenegaraan Indonesia sendiri. Undang undang sebagai dasar dari peraturan
peraturan Negara dalam rangka menciptakan kestabilan Negara dan
kemakmuran bangsa. Sehingga, dengan demikian sudah menjadi tanggung
jawab pemerintah untuk merumuskan dan membuat Undang undang yang mampu
menjaga Stabilitas Negara serta meuwujudkan cita cita bangsa yang makmur
dan sejahtera. Karena apabila undang undang yang dirumuskan oleh Negara
ternyata sangat tidak relevan dengan kondisi dan Kontekstualitas bangsa
Indonesia, maka hal ini dapat mengancam kestabilan Negara dan
masyarakat Indonesia, terutama apabila dari sisi Pemerintahan dan
ketatangeraan , maka hal ini akan berdampak langsung terhadap rakyat
Indonesia, dimana Pemerintah dan Negara merupakan pihak yang bertanggung
jawab memenuhi hak hak aspirasi rakyat dan menjamin kemakmuran.
Sehingga, system Pemerintahan dan kenegaraan yang stabil merupakan
kemutlakan demi terwujudnya cita cita Negara yang diatur oleh undang
undang.
Dan di Indonesia sendiri, kita dapat
melihat bagaimana perjalanan dan dinamika system ketatanegaraannya.
Undang undang yang mengatur system Kenegaraan Indonesia sudah beberapa
kali mengalami perubahan (Amandemen), yang tepatnya sebanyak empat kali
Amandemen. Lengsernya presiden Soeharto, dimana juga berarti berakhirnya
masa orde baru, telah banyak membuat perubahan yang sangat fundamental
dalam system kenegaraan Indonesia yang disusun dalam Undang undang dasar
45. Pada saat masa orde baru berakhir , dan keran reformasi dibuka
sebesar besarnya, Indonesia dapat dikatakan sedang mengalami proses
demokratisasi seteleh sekian lamanya dikekang dengan Pemerintahan yang
otoriter di masa Presiden Soeharto.Ketika di Tahun 1998 di saat
lengsernya Soeharto dengan tindakan serta aksi aksi mahasiswa yang
dimobilisasi oleh Amien rais, maka sejak itu pulalah Stabilitas Negara
Indonesia mulai mengalami kegoncangan. Setelah pertengahan tahun 1998
hingga akhir tahun Indonesia mengalami kekosongan kepemimpinan hingga
akhirnya di tahun 1999 diadakan Pemilihan umum dengan tanpa dominasi
Soeharto, dengan banyaknya muncul Partai partai politik baru dengan
beragam warna ideology. Dan setelah Pemilu di tahun 1999, dimana
akhirnya Gusdur terpilih sebagai Presiden , namun hal masa pemerintahan
Gusdur pun tidak bertahan lama ketika digantikan oleh Presiden Megawati.
Dan dimasa masa tersebut itulah keadaan Negara Indonesia dapat
dikatakan Unstabilitas, dimana Negara sedang belajar didalam Proses
demokratisasi yang sebenarnya.
Dan dalam hal perundang undangan, UUD 45
mengalami Amandemen kurang lebihnya sebanyak empat kali Amandemen dalam
waktu yang relative singkat. Hal tersebut tentunya sangat tidak dapat
dilepaskan dari peranan Amien rais selaku ketua MPR di waktu yang
terpilih melalui Pemilu di tahun 1999. Seperti kita tahu bahwa Amien
rais merupakan Orang yang paling memiliki peran penting didalam proses
reformasi Indonesia, sehingga sangat wajar apabila Amien rais dengan
jabatannya sebagai ketua MPR waktu itu, mecoba untuk merombak dengan
cukup fundamental dasar Negara yaitu Undang undang 45 yang merupakan
aturan aturan atau Prosedural ketatanegaraan demi mencapai demokrasi
yang sebenarnya agar terwujudnya Negara yang lebih stabil, demokrasi,
dan kesejahteraan rakyat Indonesia.Sehingga, dengan kata lain dapat kita
mengatakan bahwa Amandemen undang undang 45 mulai dari amandemen
pertama hingga keempat adalah perubahan undang undang yang dilakukan
oleh Amien Rais dalam upaya proses perubahan undang undang yang lebih
baik dan demokrasi.
Namun, yang perlu dipahami disini adalah
bahwa perubahan undang undang yang dilakukan disini tentunya bukan
berarti senantias mutlak lebih baik dan mampu membentuk dan menjga
kestabilan Negara yang lebih baik. Dengan Diamendemennya undang undang
berkali kali sebenarnya menunjukkan bahwa Negara Indonesia sedang dalam
proses menuju system Negara yang Stabil, dan pada realitasnya memang
tidak begitu menunjukkan hasil yang cukup signifikan meskipun kita dapat
mengatakannya lebih baik dari undang undang di masa orde baru yang
lebih memihak di pihak Penguasa Negara.
Tujuan
Sehingga dengan kondisi serta
permasalahan yang berkenaan dengan system ketatanegaraan diatas, maka
disini Penulis mencoba untuk membaca dan mencoba untuk melakukan suatu
analisis terhadap perubahan perubahan undang undang yang sempat terjadi
beberapa kali di Indonesia, karena seperti kita tahu bahwa undang undang
45 yang menjadi supremasi hukum dalam mengatur dan penyelenggaraan
Negara Indonesia memiliki peranan penting dalam teruwujdnya stabilitas
kenegaraan yang menjadi kemutlakan dalam mewujudkan masyarakat Indonesia
yang makmur dan sejahtera.
Sehingga, secara umum disini saya kemukakan beberapa tujuan pembuatan makalah, diantaranya :
- Menganalisa perkembangan UU 45 setelah diamandemen;
- Dengan demikian, akan mengetahui kelebihan maupun kekurangannya
- Serta dampak dampak dari implementasi pelaksanaan Undang undang
- Dapat menjadi wacana hikmah dan pelajaran bagi perkembangan ketatangaraan Indonesia ke depan
Rumusan masalah
Dengan latar belakang permasalahan serta
tujuan yang hendak dicapai seperti dikemukakan diatas, maka rumusan
masalah yang dirumuskan adalah sebagai berikut :
- Bagaimana Perkembangan system ketatangeraan dan Pemerintahan Indonesia Setelah amandemen UUD 45 ?
Analisa
Pengantar
Sebelum masuk pada analisa,
disini perlu diketahui bahwa perubahan undang undang yang dilakukan
mulai dari amandemen pertama, kedua, ketiga, hingga keempat cukup banyak
pasal pasal yang diperbaharu.Sehingga sehubungan dengan hal tersebut,
maka disini Penulis akan mencoba menganalisa pasal pasal yang
diamandemen secara garis besarnya saja, atau hal hal umum dimana hal
tersebut sangat berkaitan erat dengan kondisi ketetangaraan Indonesia
dan berkaitan dengan masalah yang sangat fundamental dan berskala
Nasional. Sehingga, disini Penulis tidak akan melakukan Pembacaan dan
analisa secara menyeluruh berkenaan dengan pasal pasal yang diamandemen
hingga amandemen keempat pada pasal pasal yang ada pada UUD 45, akan
tetapi yang berhubungan langsung dengan system Ketatanegaraan Indonesia.
Karena seperti yang kita tahu, bahwa
ketetangeraan merupakan hal yang paling mendasar didalam penyelenggaraan
Negara yang stabil, serta mampu membawa kemakmuran bagi rakyat
Indonesia, menjadi Negara yang mandiri dan Negara yang kuat di mata
dunia.
Prinsip prinsip dasar Dalam perubahan UUD 45
Sehubungan dengan Amandemen UUD 45 hingga
yang keempat di tahun 2002, seperti kita tahu bahwa Undang undang Dasar
tahun 1945 telah mengalami perubahan yang sangat mendasar, dimana hal
tersebut pada akhirnya mempengaruhi struktur dan mekanisme organ organ
didalam Negara yang memiliki peranan yang sangat penting dalam
pembentukan stabilitas Negara. Dan didalam melakukan perubahan/
Amandemen disini tentunya tidak terlepas dari beberapa pokok pikiran
dimana hal tersebut menjadi sebuah alasan yang mendasar dalam melakukan
perubahan/ amandemen UUD 45,
Beberapa Pokok Pikiran tersebut adalah :
- CITA DEMOKRASI DAN NOMOKRASI
- PEMISAHAN KEKUASAAN DAN PRINSIP ‘CHECKS AND BALANCES’
- SISTEM PEMERINTAHAN PRESIDENTIL
- CITA PERSATUAN DAN KERAGAMAN DALAM NKRI
Sehingga, dari keempat Pokok Pikiran
diatas, maka dirumuskanlah perubahan UUD 45 dengan harapan akan mampu
menghasilakan pemerintahan dan Negara yang lebih menjunjung tinggi Nilai
nilai Demokrasi , lebih mengarah pada pemisahan kekuasaan sehingga
mampu menciptakan keterbukaan dan keseimbangan dalam pemerintahan,
mengarah pada system pemerintahan yang Presidensiil, serta mampu tetap
menjaga keutuhan Negara Kesatuan republic Indonesia di tengah tengah
Keanekaragaman Indonesia.
Maka, dengan keempat Prinsip diatas,
Amanademen UUD 45 hingga amandemennya yg keempat berdampak pada
beberapa perubahan Struktur dan mekanisme beberapa Organ kenegaraan yang
berarti juga berdampak langsung pada system kenegaraan Indonesia, yakni
sebagai berikut :
- a. FORMAT BARU PARLEMEN TIGA KAMAR: MPR, DPR, DAN DPD
1. Majelis Permusyawaratan Rakyat
setelah perubahan Keempat UUD 1945,
keberadaanMPR yang selama ini disebut sebagai lembaga tertinggi negara
itu memang telah mengalami perubahan yang sangat mendasar, akan tetapi
keberadaannya
tetap ada sehingga sistem yang kita anut tidak dapat disebut sistem bikameral
ataupun satu kamar, melainkan sistem tiga kamar (trikameralisme),
perubahanperubanan mendasar dalam kerangka struktur parlemen Indonesia
itu memang telah terjadi mengenai hal-hal sebagai berikut. Pertama, susunan keanggotaan
MPR berubah secara struktural karena dihapuskannya keberadaan Utusan
Golongan yang mencerminkan prinsip perwakilan fungsional (functional
representation) dari unsur keanggotaan MPR. Dengan demikian, anggota MPR
hanya terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang
mencerminkan prinsip perwakilan politik (political representation) dan anggota
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang mencerminkan prinsip perwakilan
daerah (regional representatif). Kedua, bersamaan dengan perubahan yang
bersifat struktural tersebut, fungsi MPR juga mengalami perubahan mendasar
(perubahan fungsional). Majelis ini tidak lagi berfungsi sebagai ‘supreme body’
yang memiliki kewenangan tertinggi dan tanpa kontrol, dan karena itu
kewenangannyapun mengalami perubahan-perubahan mendasar. Sebelum
diadakannya perubahan UUD, MPR memiliki 6 (enam) kewenangan yaitu:
(a)menetapkan Undang-Undang Dasar & mengubah Undang-Undang Dasar,
(b) menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara,
(c) memilih Presiden dan Wakil Presiden,
(d) meminta dan menilai pertanggungjawaban Presiden,
(e) memberhentikan Presiden dan/ atau Wakil Presiden.
Sekarang, setelah diadakannya perubahan UUD 1945, kewenangan MPR
berubah menjadi:
(a) menetapkan Undang-Undang Dasar dan/atau Perubahan UUD,
(b) melantik Presiden dan Wakil Presiden,
(c) memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden, serta
(d) menetapkan Presiden dan/atau Wakil Presiden pengganti sampai
terpilihnya Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana mestinya.
Ketiga, diadopsi prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power)
secara tegas antara fungsi legistatif dan eksekutif dalam perubahan pasal 5 ayat
(1) juncto pasal 20 ayat (1) dalam perubahan pertama UUD 1945 yang
dipertegas lagi dengan tambahan pasal 20 ayat (5) perubahan kedua UUD
1945. Dalam perubahan-perubahan tersebut ditegaskan bahwa kekuasaan
membentuk Undang-Undang berada di tangan DPR, meskipun Presiden
sebagai kepala pemerintahan eksekutif tetap diakui haknya untuk mengajukan
sesuatu rancangan Undang-Undang. Dengan perubahan ini berarti UUD 1945
tidak lagi menganut sistem MPR berdasarkan prinsip ‘Supremasi parlemen’ dan
sistem pembagian kekuasaan (distribution of power) oleh lembaga tertinggi
MPR ke lembaga-lembaga negara di bawahnya. Keempat, diadopsinya prinsip
pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dalam satu paket secara langsung oleh
rakyat dalam ketentuan pasal 6A ayat (1) perubahan ketiga UUD 1945 yang
sekaligus dimaksud untuk memperkuat dan mempertegas anutan sistem
pemerintahan presidential dalam UUD 1945. Dengan sistem pemilihan langsung
oleh rakyat itu, maka konsep dan sistem pertanggungjawaban Presiden tidak
lagi dilakukan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, tetapi juga langsung
kepada rakyat. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa dalam hubungannya
dengan pengorganisasian kedaulatan rakyat, kedaulatan yang ada ditangan
rakyat itu, sepanjang menyangkut fungsi legislatif, dilakukan oleh MPR yang
terdiri atas dua kamar dewan, sedangkan dalam bidang eksekutif dilakukan oleh
Presiden dan Wakil Presiden sebagai satu paket kepemimpinan eksekutif yang
dipilih langsung oleh rakyat. Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dulu dikenal
sebagai lembaga tertinggi negara, dimasa depan berubah menjadi nama dari
lembaga perwakilan rakyat Indonesia yang terdiri atas Dewan Perwakilan
Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah yang secara bersama-sama
kedudukannya sederajat dengan Presiden dan Wakil Presiden, serta dengan
Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
Namun, seperti dikemukakan diatas, lembaga MPR pada pokoknya
menurut ketentuan UUD 1945 pasca perubahan Keempat tetap berdiri sendiri di
samping DPR dan DPD. Banyak kritik dan ketidakpuasan mengenai pengaturan
UUD 1945 mengenai hal ini, tetapi dalam kenyataannya memang demikianlah
ketentuannya dalam UUD 1945 pasca Perubahan Keempat. Menurut ketentuan
pasal 2 ayat (1), MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD. Pasal 8 ayat
(2) menyatakan dalam hal terjadinya kekosongan wakil presiden, selambatlambatnya
dalam waktu 60 hari, MPR bersidang untuk memilih wakil presiden
dari dua calon yang diusulkan oleh Presiden. Sedangkan ayat (3) nya
menyatakan bahwa dalam hal terjadinya kekosongan presiden dan wakil
presiden secara bersamaan, maka selambat-lambatnya 30 hari setelah itu, MPR
bersidang untuk memilih presiden dan wapres dari dua pasangan calon
presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang
pasangan calon Presiden dan Wapresnya meraih suara (pen: ‘yang’) terbanyak
pertama dan kedua dalam pemilu sebelumnya. Menurut ketentuan pasal 3 ayat
(3), pasal 7A dan 7B, MPR juga berwenang untuk mengubah dan menetapkan
UUD sebagaimana dimaksud oleh pasal 3 ayat (1) dan pasal 37 UUD 1945.
dengan adanya kewenangan yang demikian itu maka dapat dipahami bahwa
MPR itu adalah lembaga yang berdiri sendiri disamping DPR dan DPD. Dengan
demikian, meskipun didunia hanya dikenal adanya struktur parlemen unicameral
dan bicameral, UUD 1945 memperkenalkan sistem ketiga, yaitu parlemen
trikameral atau trikameralisme.
Analisa:
Seperti kita tahu bahwa Semenjak
Amandemen UUD 45 keempat ditahun 2002, Fungsi Fungsi dan kedudukan MPR
berubah dengan sangat mendasar dan fundamental seperti dijelaskan
diatas. Dan menurut pendapat saya, dengan dengan perubahan tersebut
memberikan dampak dan implikasi yang cukup besar, utamanya bagi kemajuan
kemajuan system kenegaraan yg mungkin lebih demokrasi, ataupun
sebaiknya juga terdapat sisi sisi negative, yg justru tdk lebih baik,
karena menurut hemat penulis sesuatu system yg lebih demokratis bukan
berarti lebih baik, karena suatu Prinsip demokrasi atau tidak (otoriter
sekalipun), tetap tidak dapat dilepaskan dari Konteks Sosiologis
Masyarakat Indonesia yang tetap harus menjadi Pijakan Utama didalam
menentuk Prinsip prinsip pemerintahan dan mengatur ketatanegaraan.
Melihat beberapa fungsi MPR dari sebelum
Amandemen dengan fungsinya setelah diamandemen dimana dilakukan
pemadatan pemadatan dalam fungsi dan peranannya, menurut pendapat saya
disini ada beberapa aspek positif sekaligus negative, dimana hal ini
merupakan Implikasinya setelah diterapkan di lapangan system kenegaraan
Indonesia, diantaranya :
- Perubahan dan pengurangan wewenang MPR menunjukkan Prinsip pemisahan kekuasaan dalam lembaga Negara dimana hal ini semakin menjamin Proses Demokrasi dan keterbukaan.
- Hal diatas berdampak pada potensi penyelewengan kekuasaan yang sangat kecil.
- Namun, disisi lain dengan pengangkatan MPR yang hanya dari anggota DPR dan DPD, dimana keduanya dipilih oleh rakyat secara langsung (prinsip kedaulatan rakya), juga ada beberapa efek negative yg ditimbulkan, hal ini tentunya karena factor masyarakat Indonesia, dimana perilaku memilih masyarakatnya yang cenderung tdk rasional, dan dengan kemajemukan masyarakatnya serta system multi Partai Indonesia, hal ini akan menyulitkan kata mufakat di Parlemen.
2. Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
Keberadaan Dewan Perwakilan Daerah menurut ketentuan UUD 1945
pasca perubahan juga banyak dikritik orang. Lembaga ini semula didesain
sebagai kamar kedua parlemen Indonesia di masa depan. Akan tetapi, salah
satu ciri bikameralisme yang dikenal di dunia ialah apabila kedua-dua kamar
yang dimaksud sama-sama menjalankan fungsi legislatif sebagaimana
seharusnya. Padahal, jika diperhatikan DPD sama sekali tidak mempunyai
kekuasaan apapun dibidang ini. DPD hanya memberikan masukan
pertimbangan, usul, ataupun saran, sedangkan yang berhak memutuskan
adalah DPR, bukan DPD. Karena itu, keberadaan DPD di samping DPR tidak
dapat disebut sebagai bikameralisme dalam arti yang lazim. Selama ini
dipahami bahwa jika kedudukan kedua kamar itu di bidang legislatif sama kuat,
maka sifat bikameralismenya disebut ‘strong becameralism’, tetapi jika kedua
tidak sama kuat, maka disebut ‘soft becameralism’. Akan tetapi, dalam
pengaturan UUD 1945 pasca perubahan Keempat, bukan saja bahwa struktur
yang dianut tidak dapat disebut sebagai ‘strong becameralism’ yang kedudukan
keduanya tidak sama kuatnya, tetapi bahkan juga tidak dapat disebut sebagai
‘soft becameralism’ sekalipun.
DPD, menurut ketentuan pasal 22D (a) dapat mengajukan rancangan UU
tertentu kepada DPR (ayat 1), (b) ikut membahas rancangan UU tertentu (ayat
2), (c) memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan UU APBN dan
rancangan UU tertentu (ayat 2), (d) dapat melakukan pengawasan atas
pelaksanaan UU tertentu (ayat 3). Dengan kata lain, DPD hanya memberikan
masukan, sedangkan yang memutuskan adalah DPR, sehingga DPD ini lebih
tepat disebut sebagai Dewan Pertimbangan DPR, karena kedudukannya hanya
memberikan pertimbangan kepada DPR.
Ironisnya, mekanisnme pengisian jabatan keanggotaan DPD ini lebih berat
bila dibandingkan dengan mekanisme pengisian keanggotaan DPR. Anggota
DPD dipilih dari setiap propinsi melalui pemilu (pasal 22c ayat 1), anggota DPD
dari tiap propinsi jumlahnya sama dan seluruh anggota DPD tidak lebih dari
sepertiga jumlah anggota DPR (ayat 2). Jika ditentukan bahwa dari setiap
propinsi jumlahnya 4 orang, maka seseorang yang ingin menduduki kursi DPD
harus bersaing di tingkat propinsi untuk memperebutkan 4 kursi. Misalnya saja,
di Jawa Timur, satu kursi anggota DPD membutuhkan dukungan suara sekitar
5,5 juta pemilih, sedangkan untuk menjadi anggota DPR cukup dibutuhkan
sekitar 550 ribu suara pemilih. Disamping itu, peserta pemilu menjadi anggota
DPD adalah perorangan, sedangkan peserta pemilu untuk DPR adalah partai
politik. Artinya, dapat terjadi tokoh perorangan yang akan tampil sebagai calon
anggota DPD menghadapi kesulitan luar biasa dalam menggalang dukungan
bagi dirinya, sedangkan calon anggota DPR cukup memanfaatkan struktur
partai politiknya sebagai mesin penghimpun dukungan suara dalam pemilihan
umum. Dengan perkataan lain, sudah sulit-sulit untuk mejadi anggota
perwakilan ditingkat pusat, setelah berhasil, kewenangannya sangat terbatas.
Karena itu, banyak orang yang pesimis dengan pola pengaturan DPD yang
demikian.
Tentu ada juga argumen sebaliknya yang cenderung lebih optimis. Justru
karena kewenangannya yang terbatas itu menyebabkan DPD dapat terhindar
dari sasaran kritik dari masyarakat madani (civil society), asalkan para anggota
DPD dapat terbuka. Karena pusat kewenangan untuk memutuskan atas nama
rakyat dan untuk kepentingan dan aspirasi rakyat ada di DPR, maka DPR-lah
yang akan menjadi pusat hujatan dan kemarahan apabila aspirasi rakyat tidak
sungguh-sungguh disalurkan. Dengan demikian, para anggota DPD dapat
bermain ditengah gelombang aspirasi rakyat secara lebih terbuka dan memihak
kepada rakyat didaerah-daerah. Karena itu, bagi para politisi muda, DPD dapat
menjadi wadah baru untuk aktualisasi diri dan forum pelatihan kepemimpinan
politik yang efektif untuk masa depan. Oleh karena itu, ditengah kritik dan
kekecewaan atas pengaturan yang sangat mengecil arti lembaga perwakilan
daerah ini, masih tersisa optimisme yang cukup menjanjikan untuk penataan
sistem politik nasional ke depan.
Analisa:
Dengan melihat fungsi dan peranan dari
DPD (dewan perwakilan daerah) sendiri, dimana ia mewakili aspirasi
rakyat dari daerah daerah yang diwakilinya , namun ia tidak memiliki hak
otoritas dalam menentukan kebijakan, dimana kebijakan hanya bisa
ditentukan oleh DPR (DPD hanya memberikan pertimbangan), menurut
pendapat penulis hal ini merupakan sesuatu yg kontradiksi, karena dalam
penerapannya hal ini sangat rentasn terhadap disfungsinya sebagai
perwakilan, karena dengan demikian akan sangat sulit meminta
pertanggungjawaban atas kinerjanya.
Sehingga menurut pendapat Penulis , secara umum berkenaan dengan keberadaan DPD ialah :
- Merupakan kelembagaan yang sangat tidak efektif, sudah cukup terwakili oleh adanya DPRD
- Apabila DPD dipandang masih diperlukan, maka alangkah baiknya DPD diberikan otoritas dalam menentukan kebijakan2 atas kedaerahannya, sehingga dengan demikian akan sangat mudah untuk meminta pertanggungjawaban dan sebagai fungsi control kinerja untuk menghindari resiko disfungsi jabatan dan Organ kenegaraan.
3.Dewan Perwakilan Rakyat
Berdasarkan ketentuan UUD 1945 pasca Perubahanan Keempat, fungsi
legislatif berpusat di tangan Dewan Perwakilan Rakyat. Hal ini jelas terlihat
dalam rumusan pasal 20 ayat (1) yang baru yang menyatakan: “Dewan
Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang”.
Selanjutnya dinyatakan: “setiap rancangan Undang-Undang dibahas oleh DPR
dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Rancangan Undang-
Undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu”.
Kemudian dinyatakan pula” Presiden mengesahkan rancangan Undang-Undang
yang telah mendapat disetujui bersama untuk menjadi Undang-Undang” (ayat
4), dan “dalam hal rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama
tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu 30 hari semenjak rancangan
Undang-Undang tersebut disetujui, rancangan Undang-Undang tersebut sah
menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan”.
Dari ketentuan pasal 20 itu dapat dipahami bahwa: Pertama, lembaga
legislasi atau legislator adalah DPR, bukan Presiden dan apalagi DPD; Kedua,
Presiden adalah lembaga yang mengesahkan rancangan Undang-Undang yang
telah mendapat persetujuan bersama dalam rapat paripurna DPR resmi menjadi
Undang-Undang; Ketiga, rancangan Undang-Undang yang telah resmi SAH
menjadi Undang-Undang wajib diundangkan sebagaimana mestinya; Keempat,
setiap rancangan Undang-Undang dibahas bersama untuk mendapat
persetujuan bersama antara DPR dan Presiden dalam persidangan DPR.
Dalam hal rancangan Undang-Undang berasal dari inisiatif DPR, maka Institusi
DPR sebagai satu kesatuan akan berhadapan dengan Presiden sebagai satu
kesatuan institusi yang dapat menolak usul inisiatif DPR itu seluruhnya ataupun
sebagian materinya. Dalam hal demikian maka rancangan Undang-Undang
yang diajukan oleh DPR itu tidak dapat lagi diajukan dalam persidangan DPR
masa itu. Posisi Presiden dan DPR dalam hal ini dapat dikatakan saling
berimbang. Di satu pihak, dalam proses pembahasan materi rancangan
Undang-Undang, posisi Presiden/pemerintah lemah karena harus berhadapan
dengan DPR sebagai satu kesatuan institusi. Dalam hal ini, Presiden tidak dapat
lagi memanfaatkan dukungan partai politiknya sendiri yang ada di DPR untuk
mendukung kebijakan Pemerintah mengenai materi rancangan Undang-Undang
yang sedang dibahas. Akan tetapi, dipihak lain, Presiden/Pemerintah
mempunyai posisi yang kuat karena dapat mem-‘veto’ dengan cara menolak
untuk memberikan persetujuan atas sesuatu materi ataupun keseluruhan materi
Undang-Undang yang bersangkutan.
Kelima, dalam hal rancangan Undang-Undang itu datang dari Presiden,
maka seperti terhadap rancangan Undang-Undang inisiatif DPR,
pembahasannya pun dilakukan secara bersama-sama untuk mendapatkan
persetujuan bersama. Dalam hal ini, yang berhak menolak seluruhnya ataupun
sebagiannya adalah DPR sebagai institusi. Jika rancangan itu ditolak
seluruhnya oleh DPR, maka rancangan Undang-Undang itu juga tidak dapat lagi
diajukan dalam persidangan DPR masa yang bersangkutan. Dalam forum
pengambilan putusan oleh DPR dapat terjadi bahwa sesuatu materi ataupun
seluruh materi rancangan Undang-Undang yang bersangkutan diputuskan
dengan pemungutan suara dapat rapat paripurna DPR. Dalam hal demikian,
Presiden/pemerintah tidak mempunyai ‘voting rights’ sama sekali. Maka dapat
dikatakan bahwa dalam hal ini DPR mempunyai kedudukan yang lebih kuat
daripada Presiden/Pemerintah, karena DPR-lah yang memutuskan, bukan
Presiden. Jika sebagian materi rancangan Undang-Undang itu, tidak mendapat
DPR berarti materi yang bersangkutan harus dikeluarkan dari rancangan
Undang-Undang yang bersangkutan, dan secara a contrario, juga tidak dapat
diajukan lagi untuk diatur dengan atau dalam Undang-Undang lain dalam
persidangan DPR masa itu.
Keenam, setelah suatu rancangan Undang-Undang mendapat persetujuan
bersama yang ditandai oleh pengesahannya dalam rapat paripurna DPR, maka
rancangan Undang-Undang yang bersangkutan secara substantif atau secara
material telah menjadi Undang-Undang, tetapi belum mengikat umum karena
belum disahkan oleh Presiden serta diundangkan sebagaimana mestinya.
Karena, RUU yang telah mendapat persetujuan dalam rapat paripurna DPR itu
secara materiel tidak dapat diubah meskipun Presiden tidak menyetujui isinya.
RUU akan berubah menjadi resmi mengikat umum semata-mata karena (a)
faktor pengesahan oleh Presiden dengan cara menandatangani naskah
Undang-Undang itu, dan (b) faktor tenggang waktu 30 hari sejak pengambilan
keputusan atas rancangan Undang-Undang tersebut dalam rapat paripurna
DPR. Dengan demikian, secara materiel, proses pembentukan Undang-Undang
telah selesai (final) dengan telah diambilnya putusan dalam rapat paripurna
DPR yang mengesahkan rancangan Undang-Undang yang telah dibahas
bersama. Karena itu, dapat dibedakan adanya dua instansi pengesahan suatu
rancangan Undang-Undang, yaitu pengesahan materiel oleh DPR dan
pengesahan formil oleh Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat
(4) UUD 1945. Tindakan pengesahan materiel itu dilakukan melalui
pengembilan putusan akhir oleh DPR atas suatu rancangan Undang-Undang
dalam persidangan atau rapat paripurna DPR, sedangkan tindakan pengesahan
formil dilakukan oleh Presiden dengan cara membubuhkan tandatangan pada
bagian akhir naskah Undang-Undang. Selanjutnya, atas perintah Presiden,
Undang-Undang yang bersangkutan diundangkan dengan cara
menempatkannya dalam registrasi Lembaran Negara dengan memberikan
nomer registrasi dan pembuatan salinan oleh Sekretaris Negara, dan penerbitan
Lembaran Negara yang bersangkutan sebagaimana mestinya.
Analisa:
Disini Penulis tidak akan cukup banyak
membicarakan persoalan Prosedural DPR dalam hal Pembuatan Undang undang
dan perumusannya mulai dari rancangan undang undang hingga menjadi
undang undang yang sah, serta mekanismenya yang harus berupa kesepakatan
dengan pihak Eksekutif, karena menurut pandangan penulis hal tersebut
sudah cukup matang menjadi sebuah system dan penataan yang cukup baik
antara parlemen dengan pihak eksekutif dalam penyelenggaraan Negara,
dimana menurut saya, keduanya sudah cukup seimbang dengan mekanisme dan
procedural yang sedemikian rupa seperti yang diatur dibawah undang
undang 45. Namun, disisi lain Penulis mencoba menganalisanya dari sisi
perekrutan para anggota anggota DPR sendiri, sebagaimana diatur dalam
undang undang bahwa para Anggota DPR dipilih secara langsung oleh rakyat
lewat Pemilihan Umum.
Menurut pendapat saya, hal ini akan berimplikasi pada :
- Dengan Kondisi Masyarakat yang dalam perilaku memilih yg tdk rasional,
- Kemudian ditunjang dengan System Pemilihan Umum yang masih lemah, dengan system Multipartai dan system pemilu dimana masyarakat tdk mengetahui capabelitas dari para calon calon wakil rakyat.
- Maka, hal diatas dapat melemahkan system rekrutmen dari DPR sendiri
- Dan apabila hal itu terjadi, maka sama halnya dengan melemahkan fungsi dan Peranan DPR sendiri, karena kualitas dan stabilitas DPR sendiri tetap tergantung dari orang orang didalamnya.
- Apabila para anggota DPR secara Capabelitiasnya kurang, maka akan melemahkan Stabilitas system ketatangeraan Indonesia, setiap kebijakan dan undang undang yang dirumuskan tidak akan mampu membawa kemajuan dan kemakmuran bagi masyarakat Indonesia.
- b. FORMAT BARU KEKUASAAN KEHAKIMAN: MK dan MA
Sebelum adanya Perubahan UUD, kekuasaan kehakiman atau fungsi
yudikatif (judicial) hanya terdiri atas badan-badan pengadilan yang berpuncak
pada mahkamah agung. Lembaga Mahkamah Agung tersebut, sesuai dengan
prinsip ‘independent of judiciary’ diakui bersifat mendiri dalam arti tidak boleh
diintervensi atau dipengeruhi oleh cabang-cabang kekuasaan lainnya, terutama
pemerintah. Prinsip kemerdekaan hakim ini selain diatur dalam Undang-Undang
pokok kekuasaan kehakiman, juga tercantum dalam penjelasan pasal 24 UUD
1945 yang menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman tidak boleh dipengaruhi
oleh cabang-cabang kekuasaan lain. Namun, setelah perubahan ketiga UUD
1945 disahkan, kekuasaan kehakiman negara kita mendapat tambahan satu
jenis mahkamah lain yang berada di luar mahkamah agung. Lembaga baru
tersebut mempunyai kedudukan yang setingkat atau sederajad dengan
Mahkamah Agung. Sebutannya adalah Mahkamah Konstitusi (constitutional
court) yang dewasa ini makin banyak negara yang membentuknya di luar
kerangka Mahkamah Agung (supreme court). Dapat dikatakan Indonesia
merupakan negara ke-78 yang mengadopsi gagasan pembentukan Mahkamah
Konstitusiyang berdiri sendiri ini, setelah Austria pada tahun 1920, Italia pada
tahun 1947 dan Jerman pad tahun 1948.
Dalam perubahan ke tiga Undang-Undang Dasar, Mahkamah Konstitusi
ditentukan memiliki lima kewenangan, yaitu: (a) melakukan pengujian atas
konstitusionalitas Undang-Undang; (b) mengambil putusan atau sengketa
kewenangan antar lembaga negara yang ditentukan menurut Undang-Undang
Dasar; (c) mengambil putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum ataupun
mengalami perubahan sehingga secara hukum tidak memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden menjadi terbukti dan karena itu dapat
dijadikan alasan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk memberhentikan
Presiden dan/atau Wakil Presiden dari jabatannya; (d) memutuskan perkara
perselisihan mengenai hasil-hasil pemilihan umum, dan (e) memutuskan
perkara berkenaan dengan pembubaran partai politik.
Mahkamah Konstitusi beranggotakan 9 orang yang memiliki integritas, dan
memenuhi persyaratan kenegarawanan, serta latar belakang pengetahuan yang
mendalam mengenai masalah-masalah ketatanegaraan. Ketua dan Wakil Ketua
Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh anggotanya sendiri yang berasal dari
3 orang yang dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat, 3 orang yang ditentukan
oleh Mahkamah Agung, dan 3 orang ditentukan oleh Presiden. Seseorang yang
berminat untuk menjadi hakim konstitusi, dipersyaratkan harus memiliki
integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai
konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara.
Dengan komposisi dan kualitas anggotanya yang demikian. Diharapkan bahwa
Mahkamah Konstitusi itu kelak akan benar-benar bersifat netral dan independen
serta terhindar dari kemungkinan memihak kepada salah satu dari ketiga
lembaga negara tersebut.
Ada beberapa kritik yang biasa diajukan orang berkenaan dengan
pembagian tugas antara Mahkamah Konstitusi ini dengan Mahkamah Agung.
Salah satunya adalah dalam soal pembagian tugas di bidang pengujian
peraturan (judicial review) atas peraturan perUndang-Undangan. Mahkamah
Konstitusi berdasarkan ketentuan pasal 24C ayat (1) ditentukan berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final
untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar. Sedangkan
dalam pasal 24A ayat (1) UUD 1945 dinyatakan “Mahkamah Agung berwenang
mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan Perundang-undangan di
bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang ….”. Pembagian demikian
sama sekali tidak ideal, karena dapat menimbulkan perbedaan atau putusan
yang saling bertentangan antara Mahkamah Konstitusi dengan Mahkamah
Agung. Yang paling sering saya jadikan contoh hipotesis adalah berkenaan
dengan keabsahan materiel PP No. 110/2000 dibandingkan dengan UU No.
22/1999 di satu pihak, dan keabsahan UU No. 22/1999 dibandingkan dengan
pasal 18 UUD 1945 dipihak lain. Misalnya, dapat saja terjadi Mahkamah Agung
memutuskan bahwa PP No. 110/2000 tersebut bertentangan dengan UU No.
22/1999, sementara pada saat yang sama Mahkamah Konstitusi memutuskan
UU No. 22/1999 itu bertentangan dengan UUD 1945.
Perbedaan ini sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari kenyataan bahwa
memang sejak sebelumnya Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan
Perundang-undangan di bawah Undang-Undang. Bahkan ketentuan demikian
ditegaskan pula dalam ketetapan MPR No. III/MPR/2000. Karena itu, ketika
disepakati diadopsinya ide pembentukan Mahkamah Konstitusi dalam
perubahan ketiga UUD 1945 pada tahun 2001, maka ketentuan lama berkenaan
dengan kewenangan Mahkamah Agung itu dituangkan dalam rumusan
ketentuan pasal 24A perubahan ketiga UUD 1945 tersebut. Lagipula, memang
ada juga negara lain yang dijadikan salah sumber inspirasi juga oleh anggota
panitia ad hoc I Badan Pekerja MPR ketika merumuskan ketentuan mengenai
Mahkamah Konstitusi ini, yaitu Mahkamah Konstitusi Korea Selatan. Dalam
konstitusi Korea Selatan, kewenangan ‘judicial review’ (constutitional review)
atas Undang-Undang memang diberikan kepada Mahkamah Konstitusi, tetapi
kewenangan ‘judicial review’ atas peraturan dibawah Undang-Undang diberikan
kepada Mahkamah Agung. Terlepas dari kelemahan ini, menurut pendapat saya
biarlah untuk semenatara waktu pembagian demikian diterima dan dipraktekkan
dulu pada tahap-tahap awal pertumbuhan lembaga Mahkamah Konstitusi ini di
Indonesia. Namun, untuk jangka panjang, memang harus dipikirkan
kemungkinan mengintegrasikan seluruh sistem pengujian peraturan di bawah
kewenangan Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian, keadilan bagi warga
negara dapat diwujudkan secara integral di bawah fungsi Mahkamah Agung,
sedangkan peradilan atas sistem hukum dan peraturan Perundang-undangan di
letakkan di bawah pengawasan Mahkamah Konstitusi.
Mengenai Mahkamah Agung, dalam asal 24 ayat (2), dibedakan antara
badan peradilan dari lingkungan, peradilan. “kekuasaan kehakiman dilakukan
oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya
dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi”. Oleh sebab itu, badan-badan peradilan dalam keempat
lingkungan peradilan tersebut semuanya berada di bawah Mahkamah Agung,
harus dibedakan antara organ Mahkamah dan badan-badan peradilan dengan
hakim sebagai pejabat hukum dan penegak keadilan. Hubungan antar satu
hakim dengan hakim yang lain bersifat horizontal, tidak ada hubungan vertical
atasan dan bawahan. Namun, organisasinya terdapat struktur vertical atas
bawah. Pengadilan tinggi adalah organisasi bawah Mahkamah Agung, dan
Pengadilan Negeri adalah organisasi bawahan Pengadilan Tinggi. Hal ini jelas
berbeda dari pengetian yang timbul dari doktrin kebebasan atau kemerdekaan
hakim, yaitu setiap individu hakim dalam menjalankan tugas utamanya sebagai
hakim bersifat bebas dan merdeka tidak bertanggungjawab kepada atasannya.
Komisi Yudisial
Selain kedua badan kekuasaan kehakiman tersebut ada lagi satu lembaga
baru yang kewenangannya ditentukan dalam UUD, yaitu komisi Yudisial.
Dewasa ini, banyak negara terutama negara-negara yang sudah maju
mengembangkan lembaga komisi Yudisial (judicial commisions) semacam ini
dalam lingkungan peradilan dan lembaga-lembaga penegak hukum lainnya
maupun di lingkungan organ-organ pemerintahan pada umumnya. Meskipun
lembaga baru ini tidak menjalankan kekuasaan kehakiman, tetapi
keberadaannya diatur dalam UUD 1945 Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman,
karena itu, keberadaannya tidak dapat dipisahkan dari kekuasaan kehakiman.
Dalam pasal 24B ditegaskan: (1) Komisi Yudisial bersifat mandiri yang
berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan mempunyai
kewenangan lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,
keleluhuran martabat, serta perilaku hakim; (2) Anggota Komisi Yudisial harus
mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki
integritas dan kepribadian yang tidak tercela; (3) Anggota Komisi Yudisial
diangkat dan diberhentikn oleh Presiden dengan persetujuan DPR; (4) Susunan,
kedudukan dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan Undang-Undang.
Dari ketentuan mengenai Komisi Yudisial ini dapat dipahami bahwa
jabatan hakim dalam konsepsi UUD 1945 dewasa ini adalah jabatan
kehormatan yang perlu dijaga dan ditegakkan kehormatannya oleh suatu
lembaga yang juga bersifat mandiri, yaitu Komisi Yudisial. Pembentukan
lembaga baru ini dapat dikatakan merupakan pengembangan lebih lanjut ide
pembentukan Majelis Kehormatan Hakim Agung yang sudah berkembang
selama ini, akan tetapi, jika majelis semacam ini dibentuk di lingkungan internal
Mahkamah Agung, maka sulit diharapkan akan efektif menjalankan fungsi
pengawasan atas kehormatan hakim agung itu sendiri, karena kedudukannya
yang tidak independen terhadap subyek yang akan diawasi. Disamping itu, jika
lembaga ini dibentuk di dalam struktur Mahkamah Agung, maka subyek yang
diawasinya dapat diperluas ke semua hakim, termasuk hakim konstitusi dan
hakim di seluruh Indonesia. Di samping itu, kedudukan Komisi Yudisial itu dapat
pula diharapkan bersifat mandiri dan independen sehingga dapat diharapkan
menjalankan tugasnya secara lebih efektif. Khusus terhadap Mahkamah Agung
tugas Komisi Yudisial itu dikaitkan dengan fungsi pengusulan pengangkatan
Hakim Agung, sedangkan pengusulan pengangkatan hakim lainnya, seperti
hakim konstitusi, misalnya tidak diakitkan dengan komisi Yudisial.
Analisa:
Seperti diungkapkan sebelumnya bahwa
Lembaga Kehakiman pada hakekatya adalah lembaga yang bersifat mandiri,
dan terlepas dari pengaruh pengaruh dan dominasi dari lembaga lembaga
Negara lainnya manapun, sehingga lembaga kehakiman disini benar benar
terbebeas dari intervensi dan bersifat netral.
Dan setelah Amandemen keempat UUD 45,
kekuasaan Kehakiman kini tidak hanya bersifat independent dari satu
kelembagaan, tetapi menjadi dua lembaga, yaitu Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi, yang sebelum diamandemen hanya dikuasai oleh
Lembaga Mahkamah Agung. Menurut hemat Saya, Alasan yang paling kuat
mengapa Dibentuknya lembaga Mahkamah Konstitusi didamping lembaga
Mahkamah Agung hanya semata mata karena untuk Pembatasan kekuasaan dan
sifat keterbukaan didalam setiap penanganan konflik di badan
Pemerintahan di kalangan eksekutif dan legislative.
Sehingga, untuk menghindari potensi
dominasi dominasi lembaga atau pihak tertentu dalam penyelesaian perkara
tertentu, maka dari itu untuk menghindari kemungkinan kemngkinan
tersebut, mahkamah konstitusi dibentuk untuk meminimalisir hal tersebut.
Namun, disi lain tetap terdapat hal hal
yang justru berdampak pada System pengorganan dan mekanisme yang terlalu
rumit, diantaranya :
- Dengan adanya dua lembaga kehakiman, hal ini bertentangan dengan prinsip kehakiman yang seharusnya bersifat mandiri dan Independen, karena dengan dua lembaga berarti dalam pengorganisasian dan kewenangan juga terbagi menjadi dua.
- Hal tersebut tentu akan menyulitkan dalam Implementasinya, dan sangat berpotensi sekali terhadap resistensi kepercayaan kehakiman karena perbedaan dua kewenangan yang sangat potensial untuk terjadi bias bias kewenangan dan kebijakan antara keduanya.
- Dalam prinsip managemen Konflik yang efektif, hal tersebut sebenarnya sangatlah tidak efektif yang justru akan menghambat fungsi fungsi dan peranan kehakiman itu sendiri sebagai lembaga Yudikatif dalam Negara.
C. KEKUASAAN PEMERINTAHAN NEGARA
1. Kepala Pemerintahan Eksekutif: Presiden Dan Wakil Presiden
Pemerintahan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar
1945 sering dikatakan menganut sistem presidential. Akan tetapi, sifatnya tidak
murni, karena bercampur baur dengan elemen-elemen sistem parlementer.
Percampuran itu antara lain tercermin dalam konsep pertanggung-jawaban
Presiden kepada MPR yang termasuk ke dalam pengertian lembaga parlemen,
dengan kemungkinan pemberian kewenangan kepadanya untuk
memberhentikan Presiden dari jabatanya, meskipun bukan karena alasan
hukum. Kenyataan inilah yang menimbulkan kekisruhan, terutama dikaitkan
dengan pengalaman ketatanegaraan ketika Presiden Abdurrahman Wahid
diberhentikan dari jabatannya. Jawaban atas kekisruhan itu adalah munculnya
keinginan yang kuat agar anutan sistem pemerintahan Republik Indonesia yang
bersifat Presidentil dipertegas dalam kerangka perubahan Undang-Undang
Dasar 1945.
Selain alasan yang bersifat kasuitis itu, dalam perkembangan praktek
ketatanegaraan Indonesia selama ini memang selalu dirasakan adanya
kelemahan-kelemahan dalam praktek penyelenggaraan sistem pemerintahan
Indonsia berdasarkan UUD 1945. sistem pemerintahan yang dianut, dimata
para ahli cenderung disebut ‘quasi presidentil’ atau sistem campuran dalam
konotasi negatif, karena dianggap banyak mengandung distorsi apabila
dikaitkan dengan sistem demokrasi yang mempersyaratkan adanya mekanisme
hubungan ‘checks and balances’ yang lebih efektif di antara lembaga-lembaga
negara yang ada. Kerana itu, dengan empat perubahan pertama UUD 1945,
khususnya dengan diadopsinya sistem pemilihan Presiden langsung, dan
dilakukannya perubahan struktural maupun fungsional terhadap kelembagaan
Majelis Permusyawaratan Rakyat, maka anutan sistem pemerintahan kita
menjadi makin tegas menjadi sistem pemerintahan Presidentil.
Dalam sistem Presidentil yang murni, pada pokoknya, tidak lagi perlu
dipersoalkan mengenai pembedaan atau apalagi pemisahan antara fungsi
kepala negara dan kepala pemerintahan. Pembedaan dan pemisahan antara
kedua fungsi itu hanya relevan dalam sistem pemerintahan parlementer yang
memang mempunyai dua jabatan terpisah, yaitu kepala negara dan kepala
pemerintahan. Sedangkan sistem pemerintahan Presidentil cukup memiliki
Presiden dan Wakil Presiden saja tanpa mempersoalkan kapan ia berfungsi
sebagai kepala negara dan kapan sebagai kepala pemerintahan. Dengan
demikian tidak perlu lagi ada pembedaan antara sekretariat negara dan
sekretariat kabinet ataupun keputusan Presiden sebagai kepala negara dan
keputusan Presiden sebagai kepala pemerintahan, Republik Indonesia
berdasarkan sistem Presidentil hanya memiliki Presiden dan Wakil Presiden
dengan tugas dan kewenangannya masing-masing.
Bahkan, dalam konteks pengertian Negara Hukum, prinsip “the rule of
law”, dapat dikatakan bahwa secara simbolik, yang dinamakan Kepala Negara
dalam sistem pemerintahan Presidentil itu adalah konstitusi. Dengan perkataan
lain, kepala negara dari negara konstitusional Indonesia adalah Undang-Undang
Dasar, sedangkan Presiden dan Wakil Presiden beserta semua lembaga negara
atau subyek hukum tatanegara lainnya harusnyalah tunduk kepada konstitusi
sebagai ‘the symbolic head of state’ itu. Presiden dan Wakil Presiden cukup
disebut sebagai Presiden dan Wakil Presiden saja dengan seperangkat hak dan
kewajibannya masing-masing atau tugas dan kewenangannya masing-masing.
Tidak ada keperluasn untuk membedakan kapan ia bertindak sebagai kepala
negara dan kapan ia berperan sebagai kepala pemerintahan seperti kebiasaan
dalam sistem pemerintahan parlementer. Oleh karena itu, dalam sistem
kenegaraan yang dapat kita sebut ‘constitutional democratic republic’,
kedudukan KONSTITUSI bersifat sangat sentral. Konstitusi pada dasarnya
merupakan KEPALA NEGARA yang sesungguhnya.
Analisa :
Seperti diungkapkan diatas, bahwa setelah
Amanadmen keempat UUD 45 hal yang paling Prinsip dalam perubahan UUD
45 tersebut adalah dimana Kekuasaan pemerintdk tahan tersebut dipilih
langsung oleh rakyat , dimana pada Pemilihan Umum rakyat memilih secara
langsung Presiden dan Wakil Presidennya dalam satu pasang Calon, dan
yang kedua adalah dimana Fungsi fungsi dan perenan MPR yang lebih
dipersempit, dimana MPR tdk ada wewenang dalam menentukan pilihan
Presiden dan wakil Presiden, tetapi MPR hanya melantik Presiden da wakil
Presiden.
Menurut pandangan penulis, ada beberapa
hal yang perlu diperhatikan dalam Perubahan perubahan diatas berkenaan
dengan Kekuasaan pemerintah Esekutif; Presiden Dan Wakil Presiden,
diantaranya adalah :
- Menurut saya, perubahan perubahan diatas sebenarnya hendak mengarah pada sebuah System yang lebih terbuka, dimana Negara Indonesia hendak menunjukkan bahwa Indonesia sebagai Negara Negara yang benar benar demokrasi dan sebenar benarnya memegang teguh kedaulatan rakyat, kekuasaan hanya ditangan rakyat.
- Namun, disisi lain yang harus tetap diperhatikan adalah bahwa kita harus tetap memperhatikan aspek masyarakat Indonesia, dimana rakyat Indonesia masih belum sepenuhnya mengerti akan Politik yang baik, dimana masih belum ada pada sisi pemerintah dalam memberikan Pendidikan Politik kepada rakyatnya, sehingga suara terbanyak dari rakyat bukan berarti itu adalah yang terbaik.
- Sehingga, menurut saya dengan melihat aspek Keindonesiaan diatas, maka sebaiknya dalam Pemilihan kekuasaan eksekutif Presiden dan wakilnya tidak sepenuhnya ditentukan oleh rakyat. Dalam Pemilihan Umum, tentunya tidak masalah apabila rakyat memilih dan menentukan pilihannya sebagai haknya sebagai warga Negara dan penyaluran aspirasi politiknya kepada Negara, namun sebaiknya tetap harus ada jembatan MPR disini dalam melakukan Permusyawaratan sebagai lembaga yang dipandang lebih ahli dan mengerti tentang arah dan cita cita bangsa dan Negara yang sebenarnya.
2. Badan dan Lembaga Eksekutif Yang Bersifat INDEPENDEN
Selain lembaga-lembaga negara seperti tersebut di atas, bentuk
keorganisasian banyak negara modern dewasa ini juga mengalami
perkembangan-perkembangan yang sangat pesat, khususnya berkenaan
dengan inovasi-inovasi baru yang tidak terelakkan. Perkembanganperkembangan
baru itu juga terjadi di Indonesia di tengah keterbukaan yang
muncul bersamaan dengan gelombang demokratisasi di era reformasi empat
tahun terakhir. Pada tingkatan pertama, muncul kesadaran yang makin kuat
bahwa badan-badan negara tertentu seperti organisasi Tentara, organisasi
Kepolisian dan Kejaksaan Agung, serta Bank Sentral harus dikembangkan
secara independen. Independensi lembaga-lembaga ini diperlukan untuk
kepentingan menjamin pembatasan kekuasaan dan demokratisasi yang lebih
efektif. Dari keempatnya, yang sekarang ini telah menikmati kedudukan yang
independen adalah organisasi Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian
Negara (POLRI) dan Bank Indonesia sebagai bank sentral. Sedangkan
Kejaksaan Agung sampai sekarang belum ditingkatkan kedudukannya menjadi
yang independen.
Pada tingkat kedua, juga muncul perkembangan berkenaan dengan
lembaga-lembaga khusus seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(KOMNAS HAM), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Ombudsman, Komisi
Persaingan Usaha Pemberantasan Korupsi (KPPU), Komisi Pemeriksa
Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN), Komisi Pemberantasan Korupsi,
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), dan lain sebagainya, jika nanti,
Undang-Undang tentang Penyiaran jadi disahkan, akan ada pula komisi baru
lagi, yaitu Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang juga bersifat independen. Di
bidang administrasi dan pelaporan transaksi keuangan dibentuk pula lembaga
baru yang bernama Pusat dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang
juga ditentukan bersifat independen. Selain itu, ada pula komisi yang dibentuk
hanya dengan Keputusan Presiden, misalnya, Komisi Hukum Nasional (KHN).
Komisi-komisi atau lembaga-lembaga semacam ini selalu diidealkan
bersifat independen dan seringkali memiliki fungsi-fungsi yang bersifat campursari,
yaitu semi legislatif dan regulatif, semi-administratif, dan bahkan semi
yudikatif. Bahkan, dalam kaitan itu muncul pula istilah ‘independent and self
regulatory bodies’ yang juga berkembang di banyak negara. Di Amerika Serikat,
Lembaga-lembaga seperti ini tercatat lebih dari 30-an jumlahnya dan pada
umumnya jalur pertanggungjawabannya secara fungsional dikaitkan dengan
Kongres Amerika Serikat. Yang dapat dijadikan contoh dalam hal ini, misalnya,
adalah Federal Trade Commission (FTC), Federal Communication Commision
(FCC), dan sebagainya. Kedudukan lembaga-lembaga ini di Amerika Serikat,
meskipun secara administratif tetap berada di lingkungan pemerintahan
eksekutif, tetapi pengangkatan dan pemeberhentian para anggota komisi itu
ditentukan dengan pemilihan oleh Kongres. Karena itu, keberadaan lembagalembaga
seperti ini di Indonesia dewasa ini, betapapun juga, perlu didudukkan
pengaturannya dalam kerangka sistem ketatanegaraan Indonesia Modern, dan
sekaligus dalam kerangka pengembangan sistem hukum nasional yang lebih
menjamin keadilan dan demokrasi di masa yang akan datang.
Analisa:
Disini Saya tidak akan banyak menungkap
tentang Badan badan atau lembaga lembaga Eks ekutif yang bersifat
Indenpenden, karena hal itu itu semata mata hanya untuk membatasi
kekuasaan penguasa, dimana hal tersebut untuk meminimalisir
penyelewengan kekuyasaan dengan penguasaan sector sector atau Pos pos
penting kenegaraan, menurut pendapat saya, hal tersebut tentunya sebuah
tindakan dan perubahan yang tepat, dikarenakan demi teta menjaga
kestabilan Negara dan bagaimana asset serta alat lat vitasl Negara
semuanya tersalurkan dengan baik demi memenuhi aspirasi rakyat
Indonesia.
Namun, hal yang perlu diperhatikan juga
adalah bahwa tetap didalam pemberian kewenangan kepada pihak Pihak
Independen dalam lembaga eksekutif, tetap makna Independen disini buka
berarti sebebas bebasnya menjalankan dan menentukan kebijakan tanpa
batas, bagaimanapun juga lembaga independen tetap harus ada control dan
pertanggungjawaban yang jelas atas kinerja dan peranannya dalam
menjalankan fungsi dan pelayannanya terhadap Negara dan rakyat
Indoensia.
Dan, mungkin hal inilah yang masih
menjadi PR bagi Negara kita, yang masih belum jelas bagimana mekanisme
pertanggungjawabannya, dan tentunya hal ini harus dirumuskan oleh Undang
undang atau dalam konstitusi, karena Supremasi hukum tetinggi kita
adalah Konstitusional tersebut (the symbolic head of state)
Kesimpulan
Negara Indonesia dalam system
Pemerintahan dan ketatangeraannya telah banyak mengalami Perubahan
perubahan organ organ negaranya serta mekanisme, fungsi, dan peranannya.
Konstitusi yang pada hakekatnya adalah kepala Negara, yang tercermin
didalam UUD 45 telah mengalami perubahan yang sangat mendasar, hingga
hal itulah yang menyebabkan terjadinya perubahan perubahan yang mendasar
didalam mekanisme ketatangeraan dan Pemerintahan Negara Indonesia.
Perubahan perubahan Undang undang atau
Amandemen tersebut menunjukkan bahwa Indonesia hendak mengarah pada
sebuah Negara yang benar benar menjadi Negara yang demokrasi. Akan
tetapi dengan melihat Kondisi internal Negara Indonesia, dimana
Masyarakat Indonesia masih dalam sebuah proses Pembelajaran politik yang
sebanarnya, sehingga pada hakekatnya Indonesia masih dalam tahap
demokratisasi, dimana demokrasi yang masih tahap belajar, belum
sepenuhnya.
Sehingga, amandemen undang undang 45 yang
secara maksud dan isinya hendak mengarah pada ketatangeraan yang lebih
demokrasi dan terbuka, akan tetapi pada Implementasinya tentu akan masih
sangat sulit, masih belum dapat sepenuhnya terlaksana dengan stabil,
Inilah yang saya maksud dengan demokratisasi. Untuk Implementasi
sepenuhnya dengan Undang undang yang telah dilakukan seperti itu,
Indonesia masih harus banyak belajar berkenaan dengan Politik yang baik,
dimana seharusnya pendidikan politik yang baik tidak hanya bagi
kalangan tertentu, tetapi hendaknya dilakukan secara menyeluruh ke semua
elemen Negara.

